Friday, September 21, 2012

Danau Toba

Again..melanjutkan perjalanan dari Sibolga, saya pun singgah di Parapat kemudian Danau Toba. Perginya sendiri, pulangnya dapet temen banyak, segambreng, mulai dari tukang ojek yang pengen jadi Bupati sampe inang warung kopi samping Motel saya, semuanya penuh cerita, semuanya penuh warna dan saya pun pulang dengan merasa 'kaya'

Perjalanan di penghujung tahun 2008 yang catpernya sampe sekarang nggak sempet saya rampungkan dan sebagian fotonya tercecer entah di computer yang mana :'(







Exploration in Kalimantan

Banyak cerita dan petualangan seru memang saat sedang eksplorasi projek di Kalimantan, sampai tanpa sadar akhirnya saya menikmati sesuatu yang lain dari Kalimantan. Memandangi langitnya saat hampir senja kala menunggu kapal datang dari tepi Sungai Sambas.. Wooo, jingga! Sesuatu yang hampir tidak pernah saya temui di Jakarta. Selamat menikmati sedikit foto yang sempat saya edit. Foto-foto dokumentasi Gita dan Elda (just another crazy female geologist like me





Diving Pertamaku


Satu lagi daftar mimpi atau tepatnya 'things must try before i die' yang aku centang hari ini.. 'Diving Properly and Licensed'. Sebenernya sih kalo mengacu di buku yang aku tulis; 'Diving' ajah, tapi ini dapet nilai lebih karena divingnya dalam rangka ujian untuk ngambil PADI license. Biar bisa aku baca terus menerus, i decided to write catatan diving-ku disini.
Grogol, 9 Oktober, hampir tengah malem
Akhirnya gue memutuskan untuk nginap di kos-an Helen di Grogol karena rasanya nggak mungkin gue nggak kesiangan dan harus mulai perjalanan dari Radio Dalam. Bayangin, gue dan Nico harus udah ada di Muara Angke setidaknya jam 6.30 karena kapal ke Pulau Pramuka berangkat jam 7 pagi. Jadi, disinilah gue,di kamar kosnya Helen sedang bersiap-siap akan tidur. Jam 23.30, masih aja chit chat sama Helen, padahal udah sama-sama rebah di pulau kapuk. Akhirnya bisa merem dengan perasaan deg-degan (takut kesiangan) sekitar jam 1.30am
Grogol, 10 Oktober, 2/3 malam

Gue kebangun karena di luar berisik banget. Maklum, kos-annya Helen pas banget di belakang terminal kecil Grogol, tempat bis-bis AKAP pada kongkow,jadilaaah.. jam 3 pagi terdengar amat sangat ramai seperti di pasar. Gue nggak bisa tidur, ACnya dingin banget! (dan gue terbiasa tidur tanpa AC) tapi terlebih karena gue terlalu excited untuk diving besok (hoho, lebay nggak?), dan yang terutama gue takut gue kesiangan kalo gue tidur! DAMN!.. dan akhirnya gue bener-bener kesiangan! gue baru kebangun jam 5.30, ough! padahal rencananya mau berangkat dari Grogol jam segitu. Gue langsung nelfon Nico, panik! takut dia kesiangan juga. Gak diangkat-angkat.. gue ngibrit mandi, tepatnya cuci muka, gosok gigi, dan basahin rambut (biar dikira keramas dan mandi). Maaf, nggak ada kata mandi untuk orang yang kesiangan, bener dong?? Gue telfon Nico lagi, yang ngangkat Tomy "...Git, Niconya baru mandi, kesiangan dia" What?? Dia kesiangan dan dia mandi?? hhhhh.... curang! Akhirnya gue packing dan say thanks to Helen and waved to Mba Aster yang masih bobo. Gue telfon Nico lagi dan dia belum selesai akhirnya gue cuma titip pesen ke Tomy kalo gue nunggu depan kampus. Gue sempet masuk ke dalam kampus dan ambil uang di ATM, agak lama juga, kira-kira 15 menit Nico dateng dibonceng Tomy, hell yeah! dan dia tetap tampak seperti tak mandi..huahaha.
Kita naik B01, carry merah yang lewat persis depan kampus. Gue dan Nico nyampe jam 6.20, sambutan bau amis khas pelabuhan menyambut dan kita biasa-biasa aja, seolah udah terbiasa, abis mau gimana lagi coba? Kapal yang mau ke Pamuka udah sangat penuh dan siap mau berangkat. Oow.. gue bingung, karena Joe dan yang lain belum dateng, setau gue kapal ke Pramuka itu cuma 1x berangkat yaitu jam 7, tapi ini 6.30 aja belum tapi kapalnya udah penuh dan siap berangkat. Gue yakin apapun yang terjadi kapal ini nggak akan mau nunggu kita dengan alesan apapun. Ngeri gue mbayangin berjubel penumpang yang ngamuk gara-gara nungguin 5 orang yang mau diving, bakal jadi pertempuran yang nggak imbang. Setelah telfon-telfonan sama Pak Menik (kontak gue yang di Pramuka) ternyata jam 7 nanti akan ada kapal lagi yang berangkat, namanya Bintang Alam 2, syukur deh, walaupun sebenernya agak sebel sama kenek kapalnya karena dia bilang kapal yang penuhnya minta ampun itu adalah satu-satunya yang akan berangkat ke Pramuka, artinya gue dibohongin karena ketidaktahuan gue, bukankah ini satu bentuk penganiayaan?? Oh well, akhirnya tu kapal berangkat juga, lalu gue sarapan dengan tenang. Gue beli bubur ayam rasa amis (sugesti makan di pelabuhan ya begini ini). Nico nggak ikut makan, dia bilang dia udah sarapan di Grogol (bagooos.. sama-sama telat bangun tapi dia nyempetin mandi dan sarapan, tega ngebiarin gue nunggu depan kampus, dengan keadaan nggak mandi dan laper karena belum sarapan... makasih ya Nico *miris*). Tiba-tiba gue ngebayangin, seandainya gue kehabisan udara di bawah laut gue yakin dia adalah orang pertama yang bakal dadah dadah ke gue lalu ascending to surface tanpa membagi octopusnya ke gue, damn! Mimpi buruk banget buddy-an sama dia nih. Nggak lama Joe, Bayu, Sarah, dan Lely dateng. Yippie! Ternyata kita berenam. Kapalnya nggak nunggu lama-lama untuk berangkat karena penumpang juga udah banyak. Kita duduk di atas, enak banyak angin. Nggak kerasa lama soalnya gue melanjutkan tidur gue yang kurang. Joe juga tidur, Nico tidur-tiduran. Sarah sama Lely sibuk chit chat sambil makan ransumnya Lely. Bayu sibuk motret-motret dan ngeladenin bapak-bapak yang sok asik.
Perjalanan ke Pramuka lancar-lancar aja, pas 2 jam. Jam 8.45 kita udah nyampe di dermaga Pulau Pramuka. Wuw... aku kembali lagi kesini, merasa seperti anak pulau, uh senangnyaaa (lebih cocok dibilang anak pulau dibanding anak kota). Joe, Bayu, dan Nico sibuk nurunin barang. Gue langsung nyari-nyari Pak Menik dan ber-hai-hai ria. Kita dianter sampe ke homestay yang udah gue pesen secara mendadak, which is located tepat di depan dermaga, lovely.. nggak perlu jauh-jauh jalannya kalo mau ke kapal. Homestaynya semalem Rp 400,000 ajah dan bisa dibilang mewah untuk kita. Ada 3 kamar besar, tv, AC , dan 3 kamar mandi. Walaupun ruang tamunya sempit, nggak terlalu jadi masalah karena rumah ini punya teras yang cukup luas, dan yang terpenting sangat dekat ke warung untuk memesan kopi.
Tabung dan pemberat udah disiapin sama Pak Menik. 10 tabung untuk hari ini udah nangkring aja di dermaga lengkap dengan pemberatnya. Kapal sempet mendadak nyarinya dan dapetnya agak mahal; Rp 400,000, alesannya karena ternyata hari itu kita sampe maghrib, padahal setau gue Rp 300,000-350,000 udah paling mahal loh. Hmmm... inilah birokrasi pungli Indonesia, sampe di strata bawah pun akan kita temui. Anyway.. setelah naro barang, istirahat bentar sambil ngopi-ngopi, selanjutnya kita pilih-pilih wet suit, masker, fin, BCD, dan regulator yang udah disewain Joe dari Jakarta. Nggak lupa kita beli nasi bungkus dulu buat bekel. Nggak jauh-jauh makannya dari nasi padang, warungnya ada di belakang homestay, deket. Bekel udah, pake wet suit udah, sun block udah, kamera stand by... Brangkaaaaat!! Tujuan pertama adalah Pulau Semak Daun, sekitar 20 menitlah pake kapal dari Pramuka.

Pulau Pramuka dan sekitarnya yang masuk di kepulauan Seribu bukan pulau yang sepi. Pulau Seribu udah jadi alternatif warga Jakarta untuk menghabiskan akhir pekan. Selain deket, paket homestay dan kapal yang relatif murah untuk rombongan, disini juga ada penyewaan life jacket, snorkle, dan fin untuk mereka yang mau snorkling. Umumnya mereka nginep di Pramuka lalu keliling pulau-pulau di sekitarnya dengan kapal. Pulau-pulau lain menurut gue lebih bersih dibanding Pramuka, kayak Pulau Air, Semak Daun, dan Karya. Setelah nyampe di Pulau Semak Daun, ternyata visibility nggak terlalu oke, mungkin karena air lautnya lagi surut, sehingga silt dan sedimen lainnya naik ke atas dan bikin keruh bukannya mengendap. Akhirnya nggak jadi turun, kapal yang disupirin sama Pak Maman bergerak lagi lebih ke tengah dengan harapan kali ini lebih jernih. Hmmm... lumayan lah, akhirnya kita coba deh. Uhh..deg-degan gini gue, hehe. Mulai deh pasang-pasang, pasang primary regulator first stage ke tabung, lalu low presure inflator ke BCD, cek-cek tekanan dalem tabung, and so on. First lesson, Joe minta kita roll back dari kapal. Ah susah payah dah gue, memakai peralatan perang ini. Humphh... duduk di pinggir kapal, roll back dan byuuurr! Wuhuuuu... loh loh, tapi koq rasanya ada yang aneh dengan BCDnya, oho ternyata belum dikencengin BCDnya, dibantu Bayu dikencengin dah BCD gue. Lalu, kita berlima berkumpul di depan kapal, menggunakan tali sebagai reference untuk turun ke bawah. 5 points descend; Signal, Orientation, Regulator, Time and Descend... c u under the sea! Tapiiii... gue nggak pegangan ke tali dan akhirnya terpisah jauh entah dimana yang jelas talinya semakin jauh dari gue dan parahnya lagi visibilitynya ternyata buruk banget, gue nggak bisa liat apa-apa selain pasir yang membumbung ke atas, ohhh... tidaaaaaak!
Akhirnya gue balik lagi ke atas, ternyata gue cuma beberapa meter aja dari samping kapal tapi di bawah udah nggak bisa liat apa-apa lagi. Nggak lama, Joe naik ke atas, kebingungan nyari-nyari gue dan Sarah, salah komando ternyata, harusnya Bayu sama Nico yang turun dulu lalu gue dan Sarah. Akhirnya, gue dan Joe turun lagi ke bawah, kali ini gue memegang tali dengan hati-hati, takut kesasar. Sampe di bawah, wah mereka bertiga sedang foto-foto sepertinya. Sarah yang juga sedang ujian untuk Advance Divingnya emang bawa kamera Canon G9 lengkap dengan housingnya jadi dia bisa hunting all those tiny irresistable creatures under the sea. Tiba-tiba Sarah nyolek gue dan ngasi kode kalo tabung gue melorot, iketannya nggak kenceng gitu, pantes kenapa tiba-tiba gue merasa ada yang aneh di belakang. Akhirnya Joe dan Sarah bergotongroyong mengencangkan tabung gas gue, hehe.. makasih ya temans. Setelah muter-muter nggak jelas, Joe, instrukturnya minta kita kembali ke atas, kyanya sih karena bener-bener gak keliatan apa-apa di bawah. Wuahhh... begitu naik kapal, si Lely lagi makan siang gitu, wihh jadi kepengen tapi belum boleh karena kita masih akan nyemplung. Setelah dapet tempat yang kayaknya jernih kita nyemplung lagi, kali ini boleh pasang alatnya di dalam air, mayan ga berat. Di bawah kita diuji lagi sama Joe materi yang minggu lalu dipraktekin di kolam; clearing mask. Nico sempet ada masalah gitu dengan maskernya, kayaknya sih airnya nggak bisa keluar dari maskernya tapi Joe kurang nangkep apa maksudnya Nico, akhirnya Joe minta Nico nulis di atas board dengan pinsil airnya itu, hehe *gimana ya rasanya nulis di dalem air*
Lulus semua deh pokoknya untuk clearing mask. Terus kita jalan-jalan, haha nyelam-nyelam tepatnya sambil liatin Sarah yang lagi ujian navigasi. Di bawah pasir dan siltnya dominan, karena kita anak baru jadi masih sering bikin pasir-pasir naik ke atas (hehe masih gak bagus nih bouyancynya) dan sangat mengganggu sarah yang mau motret-motret. Terus kita keliling-keliling bersama-sama, humm...asiiik! gue sekalian melatih dan membiasakan diri dengan bouyancy gue, inhale...naik, exhale...turun sambil sesekali tanpa sengaja fin gue nendang terumbu (uuuuppss!! Maaf...) atau diver lain. Setelah kurang lebih 40 menit kita balik lagi, naik ke atas untuk makan siang. Siang itu maximum depth kita mencapai sekitar 20-30ft atau 7-9m. Kita makan siang di Pulau Semak daun, kapal merapat ke dermaga dan kita lahap makan di pinggir dermaga, nyam nyam! Nasi, tongkol pedes, dan daun singkong.. enyaaak. Sebelum nyemplung lagi, kita istirahat sambil nurunin nasi sekitar 1 jam. Lely dan Sarah sibuk foto-foto gitu, berasa kayak di pulau pribadi yang baru aja mereka temuin, hwahaha.. gue.. tidur siang ajah di pinggir pantai, kebetulan ada kursi panjang buat baringan. Ternyata Nico, Bayu, dan Joe udah siap-siap mengganti dengan tabung kedua.. wah mereka baik sekali, semuanya diturunin dan diganti di dermaga. Gue ikut bantuin (dikiiit) yang punya gue aja tapi, hehe.
Siang itu panaaaaas banget jadinya nggak sabar pengen buru-buru nyemplung. Waktu kita udah siap mau berangkat rombongan lain yang mau snorkling dan exploring Semak Daun dateng beramai-ramai 2 kapal, ada Pak Menk juga yang lagi jadi guide. Kata Pak Menik, sekarang air laut surutnya siang (kenapa ya Pak?), makanya nggak heran kalo visibility di bawah nggak bagus. Lalu dibawalah kita oleh Pak Maman kembali ke tempat tadi, setelah sebelumnya ke spot yang disaranin sama Pak Menik (ternyata keruh juga). Kali ini makenya kembali di dalam air, seperti biasa 5 points descend; signal, orientation, regulator, time and....descend. Di bawah kali ini kita ujian CESA, wuw.. setelah berjalan-jalan tentunya yaaa.. Sarah yang jeli ngelihat mahluk bawah laut yang lucu-lucu, sementara kalo gue masih sibuk dan asik sendiri, naik turun, melatih bouyancy.
11 Oktober 2009
Hari Minggu, karena cuaca teduh dan indah jadilah hariMinggu yang cerah pagi itu kita dive di dermaga saja. Hari ini, tinggal dive 3 dan 4, materinya navigasi, manual inflate, dan CESA. Dum dudum dudum.. kita semua siap-siap di dermaga sambil menyimak Joe yang memberi pengarahan how to use compass.. well, not a new thing for me actually, tapi yang bikin lain karena bacanya nanti dalam air, hihi, jadi nggak sabar.
Pagi itu, lumayan terik dan ramai di dermaga. Banyak yang dive juga tapi untungnya bukan di dermaga, cuma jadi agak penuh sesak aja dermaga pagi itu. Selain oleh para diver, anak-anak pulau yang atraksi loncat-loncatan seakan-akan nggak mau kalah dengan kita yang mau dive.
Di dalam laut, huhuw.. sudah mulai terbiasa dengan equalize yang agak beda karena gue pake masker yang modelnya ada valvenya. Masker model begini equalizenya harus swallow begitu descend, kalo nggak bisa telat equalize and u'll feel squeezed. Gue disuruh Joe untuk mulai memakai kompas, seperti yang sudah dia ajarin sebelumnya tadi di dermaga. Lalu dengan sigap dan PD gue mempraktekan ilmu navigasi tsb di bawah laut. Tapi tau nggak?! gue terlalu terfokus pada kompas sampe nggak fokus lihat ke depan, alhasil gue semakin ke atas dengan sangat cepat. Untung Joe udah waspada dan langsung narik fin gue supaya gue tetep menyelam pada jalur yang telah ditentukan.
Di bawah laut kita sempet berpapasan dengan penyu yang warnany coklat kebuluk-bulukan, haha cukup senang. Dia lewat tepat di atas kita, Sarah pun gak sempet ngambil fotonya. Terus kita pun ditunjukkin sama Joe kuda laut, tapi bentuknya kayak ular dan warnanya item putih, kalo orang lokal bilangnya tangkur buaya. Karena sebenernya jenis kuda-kuda laut itu bermacam-macam. Hari ini sama, 2x dive juga dan itu juga nggak lama-lama. Untuk memenuhi persyaratan ujian Open Water kan harus 4x Dive.. haha, dan ini dive ke-4 kami saudara-saudara. Dive terakhir ditutup dengan praktek CESA dan inflate manual. Ada cerita sedikit lucu waktu dive terakhir. Baru sebentar kita dive, mungkin 20 menit lah, tiba-tiba Nico ngasih kode ke gue dan Joe kalo tabung nafasnya dia sudah hampir di garis merah. Ough! sedangkan gue, setengah aja belum... mmmm ada apa gerangan sih sama nafasnya Nico??? segitu borosnya! Akhirnya gue menemani dia ascending to surface deh, secara kita budy-an *uuhh menyesaaaal* padahal ya, untuk 20 menit ke depan tabung gue masih cukup tuh. Anyway, gak apalah daripada dia semaput dalem laut kan ?!
Setelah selesai dive terakhir ini, kita langsung siap-siap setelah membilas-bilas semua gear dengan fresh water (salah satu maintenance dive gear juga nih). Sambil nongkrong di dermaga kita nungguin kapal datang dari Pulau Panggang yang akan membawa kita kembali ke Jakarta. Ngobrol-ngobrol ditemani ABC Moca, sambil sesekali merem gara-gara angin sepoi-sepoi..hmm nikmat bangetlah! Nggak nunggu terlalu lama kok kita sampai akhirnya kapal itu dateng. Penuh!! full! dan semua adalah turis dari Jakarta. Kali ini kita duduk di dalem dan tidur pulas.
Senangnya bisa menyelesaikan tulisan ini. Dive pertama yang sangat berkesan, good experiences, good mateys, nice weather and eventually i was cured by the current and all those tiny creatures :-)  
Well, selamat bekerja kembali dan welcome home to Jakarta


With Bayu, Lely, Nico, Sarah, Joe







Anak Krakatau


   Hari yang dinantikan dateng juga, 25 Februari 2010; long weekend dan perjalanan ke Sebuku-Sebesi-Anak Krakatau. Gue berangkat dari kosan sekitar jam 7.30 malem. Meeting point gue bareng Utine, Rendy, Nikka, Joko, Elvi adalah di samping tol Kb. Jeruk jam 9 malem. Mengingat malam itu amat sangat macet dimana-mana dan Transjakarta juga kena imbasnya, jadilah gue naik ojek langganan dari kosan ke halte Transjakarta Kb. Jeruk. Lumayan jauh ternyata tapi gue cukup mengeluarkan 25.000 aja utk ojek . Dari halte ini gue lanjut naik angkot carry warna merah, B03, ternyata dari halte itu udah nggak terlalu jauh lagi samping tol Kb. Jeruk, cukup 2.000. Nggak lama-lama nunggu kok, abis itu Utine (yang bawaannya paling banyak) dan Rendy dateng pake taxi. Abis itu Joko, Elvi, dan Nikka (yang masih lengkap dengan baju kantornya) berturut-turut dateng dan kita pun loncat naik bersama-sama ke dalam patas menuju Merak, tempat meeting point selanjutnya dengan 14 orang lainnya. Di dalem patas semuanya udah nggak dapet duduk, mau nggak mau kita berdiri dan nguobrooll pastinya, seruuu bener yang diceritain, dari seputar jalan-jalan, diving, sampe ngobrolin Belitung [merasa diracuni oleh Joko yang udah pernah ke Belitung nih gue]. Patas dari Kb. Jeruk ke Merak cuma 20.000-->mending naik patas aja deh, soalnya kalo patas nggak nge-tem di Serang, emang lebih mahal 5.000 dari bis yang biasa tapi da AC.
     Sampai di Merak, sudah ada Ojo dan Tian (mereka berdua nih berangkat dari Tasikmalaya, jam 10 pagi !!} juga Adjeng (kalo Adjeng langsung dari CGK airport, berhubung dia dari Surabaya, ada tugas kantor mendadak). Masih banyak temen yang ditunggu, kita ngedeprok aja gitu di depan Dunkin Donut. Jam 12 lewat, 20 orang udah lengkap; termasuk Noni, Noor, dan Dioz yang dateng dari Bandung.Tiket nyebrang dari Merak ke Bakauheni cuman 10.000 ajah per orang. Yang ngantri-in tiket buat 20 anak bebek yah siapa lagi kalo bukan Ibu Bebek :: Utine. Kapal fery ini hampir tiap saat ada yang nyebrang ke Bakauheni jadi nggak heran kalau mereka nggak punya jadwal waktu penyebrangan (nggak seperti di Karimun Jawa contohnya). Situasi kapal fery lumayan rame dan sesak oleh penumpang, kitapun nyebar, ada yang upgrade (nambah 10.000) ke kelas bisnis, dapet duduk dan AC tapi ada juga yang masuk ke kelas lesehan / bisnis yang cuma nambah 5.000 aja. Dan gue?? Cukup menaruh carrier gue di kelas bisnis bersama yang lain kemudian keluar menikmati angin malam di anjungan pengunjung bareng sama Nikka, Dioz, dan Rendy. Tepat jam 1.30 dini hari kapal fery beranjak menjauh dari sandarannya di Merak. Angin kencang seperti meninabobokan orang-orang yang juga duduk disitu. Banyak yang tidurnya ngemper dengan alas koran atau tikar. Kita berempat tidur dengan posisi duduk dan nggak lama pun terlelap. Penyebrangan Merak-Bakauheni memakan waktu kurang lebih 2 jam, itu kalo nggak antri parkir di pelabuhannya. Gue nggak bisa lama-lama tertidur disitu mungkin karena anginnya terlalu kencang dan gue nggak pake jaket sama sekali. Akhirnya gue bangun dan berjalan-jalan sendiri keliling kapal. Sempet mau ngopi dan duduk-duduk di kios yang ada dalam kapal, tapi nggak jadi deh, karena gue liat kursi panjangnya pun udah dicup dan dipakai buat tidur atau selonjoran oleh beberapa orang. Nggak apa-apa deh, mungkin mereka capek dan butuh tidur. Banyak gue liat ibu-ibu yang duduk-duduk sambil menggendong anaknya yang masih balita..duhh kasiannya si anak, atau sepasang kakek-nenek yang masih asik mengobrol sambil menyeruput kopi dan mengudap bakwan goreng, obrolan mereka dikalahkan suara angin yang mengganas, tapi mereka tetap mengobrol sambil melepas pandang dalam gelapnya pagi. Ahh, romantisnya... Kapal pun bersandar di Pelabuhan Bakauheni kira-kira hampir jam 4 pagi. Kami mengantri dengan sabar bersama penumpang-penumpang lain yang juga masih sepet matanya.
     Sesampainya di ruang tunggu pelabuhan kami langsung menuju terminal, tidak jauh dan mudah dicari kok. Papan tanda di sepanjang jalan menuju terminal sangat membantu. Seperti biasa, sesampainya di terminal, kami disambut para pencari nafkah beroda empat yang mengajak atau bahkan hanya sekedar bertanya tentang tujuan kami. Kami hanya melempar senyum dan menggeleng dengan tampang bantal dan pandangan kuyu. Oleh Utine kami disuruh naik angkot carry warna kuning yang sudah deal untuk dicarter. Biaya carter untuk 1 angkot adalah 150.000. Ada 2 angkot yang dicarter dan akan mengantar kami menuju Dermaga Canti. Perjalanan dari Bakauheni ke dermaga Canti yang masuk ke dalam wilayah Lampung Selatan memerlukan waktu kurang lebih 1 jam. Kunyalakan kembali GPS 76 csx, si teman setia perjalanan untuk merekam perjalan kali ini. 
     Angkot tancap gas membelah pagi buta yang gelap. Suara mesinnya menderu, menghajar aspal jalanan yang sudah rusak. Kebanyakan dari kami kembali melanjutkan tidur di dalam angkot, berharap perjalanan ke Dermaga Canti akan lebih dari 1 jam. Sayang, si supir angkot rupanya menunaikan tugasnya dengan baik, dia melajukan angkotnya tanpa hambatan dan akhirnya tiba di Dermaga Canti tepat jam 5 pagi. Dermaga masih sunyi senyap, hanya ada kami, ber-20 dengan carrier masing-masing. Sejauh ini, perjalanan kami masih terjadwal dan sesuai rencana, lebih cepat malahan tapi nggak apa-apa, masih banyak yang bisa dilakukan sembari menunggu matahari muncul. Ada yang sholat Shubuh dulu (untungnya ada musola kecil di samping dermaga), buang air kecil (untuk BAB sepertinya sih harus numpang di warung / rumah penduduk yang terletak di sebrang dermaga) ada pula yang dengan sigap mengambil kompor gas dan memasak air panas untuk menyeduh kopi dan bubur. Mas Jess, yang pertama kali inisiatif untuk bikin sarapan sendiri, diikuti beberapa teman yang lain. Sementara Dioz, Joko, Ray, Rayi, Sysil, dan Aldo lebih memilih sibuk dengan kamera SLRnya. Berbagi teknik, ilmu, tips, dan saran tentang fotografi sepertinya mudah membuat mereka lupa kalo belum sarapan pagi. Sisanya memilih melanjutkan tidur atau sekedar duduk meluruskan kaki dan selonjoran di ruang serbagunanya Dermaga Canti (serbaguna deh pokoknya bisa buat naro carrier, tiduran, koprol juga bisa). 
     Senang sekali rasanya hari itu, dapet 18 temen baru (gue cuma kenal si Utine doang) ditambah waktu luang untuk mengamati dan mengobservasi beberapa dari mereka. Gue membaringkan tubuh di atas jembatan dermaga, menatap langit subuh yang mulai berubah kebiruan, seperti warna memar. Kita nggak akan kebagian jatah untuk menyaksikan jingganya matahari terbit secara penuh karena kita berada di bagian barat, paling-paling kebagian saat matahari udah agak tinggi atau paling bagus kebagian semburat merahnya saja. Hari mulai terang dan banyak rombongan lain yang berdatangan. Rupanya wisata bahari ke Sebesi-Anak Krakatau sudah menjadi tujuan untuk sebagian besar kelompok / komunitas / semacamnya. Semangat rasanya menyaksikan antusiasme rombongan lain yang akan menuju Krakatau
     Jam 6.30 sepertinya adalah waktu dimana warga sekitar dermaga sudah selesai menggeliatkan tubuhnya dan beranjak bangun menyambut rejeki pagi di Jum’at pagi. Warung-warung kopi dan nasi bergegas membuka tendanya, memamerkan hidangan terbaiknya untuk sarapan. Gue Cuma sarapan mie rebus pake telor plus kopi susu bareng Rendy, Joko, dan Ray. Yahh cukuplah buat sampe siang snorkeling.. malah kalo diisi nasi takutnya jadi susah gerak. Jam 7 pas, kita semua siap berangkat menuju pulau pertama pagi ini; Sebuku Kecil. Bersama kapal Sahabat Muda, kita ber-20 menyongsong Selat Sunda ditemani awak-awak kapal dan cerahnya matahari yang bersahabat, sungguh suatu petualangan yang mengasyikkan. Semua sibuk masing-masing dengan kamera SLRnya. Joko, Ray, Dioz, Rayi, Sysil, sebagian dengan sukarela menjadi model, sebagian kembali terkapar di dalam kapal. Bagian atap kapal menjadi tempat favorit untuk berfoto dan melihat pemandangan. Cukup panas dan terik memang. Tapi ini kan wisata pantai, jadi harus rela dong kulitnya sedikit terbakar. Gue dengan manis duduk di pinggir jendela kapal, masih bisa menikmati pemandangan dengan teduh di bawah naungan atap kapal. Untung gak ada yang merhatiin karena gue lagi senyum-senyum sendiri sambil menatap layar GPS Garmin 76 csx. Di peta, kapal kita melewati Pulau Sebuku, tapi kita memang nggak mampir. Pantai berbatu adalah jenis pantai yang mengelilingin pulau ini.
Sebuku Kecil, spotnya nggak terlalu oke untuk bersnorkling ria, percaya dehh, kebanyakan karangnya adalah karang yang sudah mati. Di sekitar pulau ini arus cukup kuat (mungkin salah satu alasan terumbu karang nggak berkembang baik?!) makanya Pak Unyil sang nakhoda menganjurkan kita nggak terlalu ke tengah. Posisi kapal cukup strategis, bisa mendekati pulau sampai ke bibir pantai. Eksplor pulau terutama difokuskan untuk hunting foto. Pulau ini adalah pulau tak berpenghuni, sama seperti Pulau Sebuku. Nggak lama kita main-main disini, mungkin cuma sekitar setengah jam saja. Setelah dari pulau ini kita lanjut ke Pulau Umang-Umang yang letaknya di balik Pulau Sabesi. Warna laut memang nggak sebiru sebagaimana lazimnya air laut, mungkin dikarenakan aktivitas gunung Anak Krakatau dan Krakatau purba pada masanya. Kalo di Pulau Sabesi, Sebuku Kecil, dan Umang-Umang pasir pantainya masih putih dan pasir putihnya itu didominasi oleh pumice warna putih pucat, sangat cantik. Pumice ini terbentuk dari magma asam hasil dari aksi letusan gunung api (pastinya Krakatau). Strukturnya seluler dengan sifat vesikuler merupakan akibat ekspansi gas di dalamnya (sedikit mengulas petrologi nih jadinya).
     Pulau Umang-Umang nggak terlalu mengecewakan untuk snorkling. Gue ketemu terumbu karang yang agak masive, bentuknya bulat dan melebar, mungkin jenis dari platform reef, bisa hummock reef atau lainnya. Keberadaannya yang cukup dangkal menyulitkan gue untuk bergerak bebas dengan fin, alhasil, fin gue copot dan gue taro di bongkahan granit besar di sekitar pantai. Angin memang lagi kenceng, membuat ombak lari kesana kemari sehingga pasir naik membumbung ke atas, asli..kurang oke kalo mau foto under water. Setelah puas snorkling dan foto-foto di Pulau ini, kita langsung tancep gas ke Pulau Sabesi untuk makan siang.. wiihhh..memang sudah laper, walaupun baru jam 11. Dari Umang-Umang ke Sabesi nggak sampai setengah jam, deket! Disini perahu bisa sandar di dermaga. Dermaga Sabesi penuh, keliatan dari banyaknya kapal yang parkir (lagian cuma pulau ini yang ada penghuninya) pertanda banyak rombongan lain selain kita dan kita pun harus sedikit loncat-loncat melewati kapal lain, hupp! Homestaynya Pak Ayun laris manis long weekend ini. Aulanya (yang biasa digunakan untuk tidur temen-temen backpack-er) keliatan penuh dengan hidangan prasmanan untuk 3 rombongan. Nyam..nyam!! nasi, teri kacang, sayur asem, dan ikan goreng plus kerupuk adalah menu istimewa kita siang ini. Pondok Pak Ayun kayaknya emang selalu rame, disini ada penginapan juga dengan kondisi layak mandi, cocok lah buat temen-temen yang mau ke Krakatau tapi nggak mau camping. Dari Pulau Sabesi ke Anak Krakatau cuma 2 jam (bisa carter kapal dari sini). Kelar makan siang dan minum es kelapa muda. Kapal Sahabat Muda bersama 20 penumpangnya melanjutkan perjalanan ke spot / daerah transplantasi coral. Kira-kira 20 menit dari Sabesi. Walaupun ada beberapa terumbu cantik yang bisa dilihat, tapi menurut gue nggak terlalu puas untuk pemandangan bawah lautnya, cuma 30-40% aja kategori terumbu yang bisa dinikmati.. Hupp! loncat ke atas kapal lagi dan kapal tancep gas, rencana pemberhentian berikutnya adalah Pulau Legon Cabe...Eeeehh..karena semua penumpang tidur dan terjadi miskomunikasi antara Pak Unyil-Ayun-Ibu Utine (yang molor) akhirnya kita tiba di Anak Krakatau dan melewati Legon Cabe. . Padahal rencananya, satu hari itu kita mau full main air..tapi ya sudahlah nggak apa-apa juga, masih ada hari esok untuk Legon Cabe.
     Cagar alam Anak Krakatau penuh banget hari itu dan semuanya pun camping..cihuyy deh! Campur aduk rasanya berada di kaki gunung Anak Krakatau saat itu (camping pula). Ibaratnya kita berada di kandang monster yang sedang tidur dan siap bangun ataupun batuk kapan saja. Untuk geologist seperti saya (halah..!!) Ini bener-bener kesempatan yang langka, karena sudah dari jaman kuliah kenal dia, mulai dari magmanya, prodaknya, tipe letusan, sejarah letusan sampe prediksi letusan berikutnya (dari diktat, buku, video lengkap!) dan sekarang, this amazing thing is in front of me..Subhanallah! Ya Allah, seandainya saja kali ini saya boleh mendengar 'batuk'nya.. this trip is gonna be a double fantastic. Gue, Nikka, Utine, dan Rendy bahu membahu dari diriin tenda sampe masak. Kita memilih untuk diriin tenda agak menjorok ke dalam dari bibir pantai dan buka dapur untuk masak di pinggir pantai. Menu untuk makan malam kita adalah nasi goreng seafood. Well... the rice wasn't too good (i cooked) actually, tapi koki Nikka membesarkan hati dengan bilang "nggak apa-apa kok ini lumayan..." hmmm, tapi lo pasti ogah kan Nikk makan nasi kayak gini lagi?! Walaupun begitu menu sore itu ludes nggak bersisa. Tambahan nugget dan sosis goreng kering tabur abon ternyata bisa bikin kita lupa sama nasi yang kurang enak.
     Letak Anak Krakatau persis berhadapan dengan Rakata (atau Krakatau setelah erupsi 1883). Anak Krakatau ini muncul setelah tahun 1923. Kemunculannya menyerupai dinding kawah yang terus tumbuh tiap bulannya sehingga elevasinya pun kian bertambah. Sore itu di kaki Gunung Anak Krakatau sangat terasa damai. Duduk-duduk di atas hamparan pasir vulkanik yang berwarna hitam mengkilap sambil memandangi Pulau Pandjang di sebrang sana. Anginnya bukan sepoi-sepoi lagi deh kalo disini, agak kenceng! Malamnya kami berapi unggun sambil merencanakan trekking besok pagi. Nggak terlalu banyak yang dibahas. Intinya kami akan memulai trekking ke punggungan Anak Krakatau pagi hari jam 4.30 dan menyapa matahari terbit di atas sana. Punggungan Anak Krakatau adalah pos terakhir yang boleh didaki. Kepundan dan puncak sampai saat ini belum boleh untuk didaki dengan pertimbangan keamanan. Malam rasanya pendek sekali malam itu. Jam 8 malem hampir semua sudah siap menggelar matras dan sleeping bag di pinggir pantai dan bersiap tidur. Utine sudah rapi dengan matras dan melilit dirinya dengan sleeping bag. Gue nggak bawa matras, jadi merelakan saja sleeping bag gue beradu badan dengan pasir hitam. Sementara Nikka, siap tidur hanya dengan selembar sarung. Bintang nggak bertabur malam itu, agak sedikit berkabut, menatap lama-lama langit malam itu.. rasanya.. ahh kecil sekali diri ini. Tidak ada seujung kuku pun dibandingkan semesta ciptaanNya. Sejauh apapun kaki ini melangkah saya tetap kecil di mata semesta tapi semoga dengan makin jauhnya kaki ini [telah dan akan] melangkah saya menjadi mahluk kecil ciptaanNya yang lebih menghargai dan menyayangi bumi, tempat kita semua berpijak dan tinggal. Lebih khusus, lebih mencintai dan mengenali Negri yang bernama Indonesia ini :)
     Jam 4.45, Pak Ahyar, petugas / ranger yang bertugas mengawal kita selama camping di Cagar Alam Krakatau mulai membangunkan semua. Agak telat memang dari rencana semula jam 4.30. Tapi kalau lihat dari posisi Anak Krakatau secara geografis, seharusnya kita masih bisa mendapati matahari terbit lebih siang dibandingkan kalau kita di Jakarta. Selesai beres-beres sleeping bag, mengunci tenda, kita pun berangkat. Berjalan baris berbaris, dipimpin oleh Pak Ahyar. Langit masih gelap pagi itu, padahal udah jam 5 lewat. Kita berjalan memanjang, tidak berpencar karena nggak banyak yang bawa senter. Sepanjang jalan menuju punggungan gunung, terlihat pola-pola seperti channel, pastilah ini bekas jalur yang dulu dilewati lava. Medan yang dilewati memang hanya pasir vulkanik yang memadat karena masih basah oleh embun tapi kondisinya terus menanjak dan agak sulit menemukan tempat datar untuk beristirahat sebentar. Akhirnya setelah kurang lebih 40 menit berjalan menanjak, sampai juga di punggungan Gunung Anak krakatau. Gue ternganga melihat kubah si gunung ini. Saat itu elevasi di punggungan 163m mengacu dari GPS gue, padahal kata Pak Ahyar, bulan lalu masih 105m. Artinya, si Anak Krakatau ini masih aktif mengeluarkan material gunung api dan menyebabkan elevasi di pungungan dan tempat-tempat lain makin bertambah. Setelah perjalanan menanjak yang hampir tiada berhenti akhirnya kami bisa bertatap muka juga dengan Rakata yang posisinya berada bersebrangan dengan Anak Krakatau. Rakata atau yang dikenal juga dengan Krakatau purba yang erupsinya di tahun 1883 menggemparkan seluruh dunia. Ini dia, maha karya Tuhan Sang Pencipta, ada di depan mata kami. Subhanallah.. Perlahan matahari pagi mengintip di balik punggung Pulau Pandjang, salah satu pulau yang mengapit Anak Krakatau. Pak Ahyar memandangi kami, sekumpulan anak muda yang senang bukan kepalang karena telah menginjakkan kaki di Anak Krakatau, mungkin untuk dia Krakatau dan sekitarnya bukanlah sesuatu yang istimewa lagi karena untuk hidup berdampingan dengan Gunung Api yang dibutuhkan tak lain hanyalah kembali ke alam, membaca dan memahami perubahan dari lingkungan sekitar sebagai sinyal-sinyal bencana alam. 
     Bagi gue, perjalanan ke Anak Krakatau nggak hanya camping, tidur di kakinya, nyampe di punggungan dan berfoto. Perjalanan ini seharusnya intii dari rangkaian edukasi bagaimana hidup berdampingan dengan ring of fire seperti Indonesia yang sama dengan hidup berdampingan dengan bencana. Menyeramkan memang kedengarannya, tapi nggak juga kok kalo kita tahu dan mau tahu tentang sebab msabab terjadinya bencana alam. 
 Setelah puas bercengkrama dengan pasir vulkanis dan matahari pagi, kami pun turun pelan-pelan soalnya takut kepleset. Turun lebih mengasyikan buat gue, gue bisa lari terus nggak pake rem, susah kalo turun gunung pelan-pelan, dengkul dan paha capek nahan berat badan yanglumayan berat. Perjalanan turun kami berpapasan dengan banyak rombongan yang baru mau mulai naik ke punggungan Anak Krakatau. Kalo menurut gue sih lebih baik naik ke Anak Krakatau waktu matahari belum muncul, seperti yang kita lakukan ini? Kenapa ? karena pasirnya masih basah oleh embun, sudah pasti padat dan nggak licin. Targetnya jam 8.30 kita sudah harus sip berangkat ke Pulau Legon Cabe, pulau yang terlewat kemaren sore karena semua penumpang ketiduran. Sarapan dan merubuhkan tenda perlu waktu kira-kira 45 menit sampe 1 jam. Gue, Utine, Nikka, dan Rendy milih sarapan super instan, mie rebus pakenugget dan sosis, seperti biasa kokinya Nikka dan gue sebagai asisten yang motong-motong sosis dan nugget. While we were cooking Utine sama Rendy ngerubuhin tenda dan beres-beres printilan lainnya. Lumayan deh, perut kenyang, makanan abis dimasak semua, tapi nggak berarti carrier jadi enteng karena sampah wajib hukumnya untuk dibawa kembali. 
     Jam 9 tepat, masing-masing dari kita udah masukin carrier ke kapal dan kita pun siap berangkat ke Legon Cabe. Perjalanan ke Legon Cabe nggak terlalu jauh, kurang dari 1 jam kita udah nyampe. Kali ini kapal nggak bersandar di pantai cukup melepas jangkar di tengah-tengah, kira-kira 10-15 meter dari bibir pantai. Utine, selalu jadi orang pertma yang menjajal sesuatu, khusunya air laut. Dengan sigap perempuan bertubuh cabe alias kecil ini nyemplung masuk ke laut lengkap dengan snorkle dan finnya. Berikutnya dia langsung muncul lagi ke permukaan dan teriak-teriak “ikannya banyaaaaaaak!!” Komentar Utinebikin sebagian anak-anak lain langsung buru-buru make snorkle dan finnya, termasuk gue. Sebenernya sih udah capek tapi begitu liat semangat Utine yang 45 dan banyak ikan di bawah sana, gue, Nikka, Dioz, Tian, dan Ojo jadi nggak mau kalah. Bener kata Utine, banyak ikannya! Dan kita pun berenang sampe hampir deket ke bibir pantaii dan barulah banyak pemandangan reef yang cantik bukan main. Aldo dan Sysil nggak lama ikut bergabung juga, Aldo membawa remahan roti untuk dibagikan ke ikan-ikan, alhasil ikan-ikan pada merubungi Aldo. Gue berenang pelan-pelan dari kapal ke bibir pantai dan kembali lagi, nggak terlalu mentingin pemandangannya, tapii lebih menikmati saat-saat kayak gini..relax nggak ada beban, bertatapan dengan sinar matahari, main-main di air laut, dengerin teriakan dan canda riang temen-temen...ahhh indahnya duniaaaa!! Indahnya Indonesia!! Setelah puas bersnorkling, kita nyobain permainan baru yang asik. Entah siapa yang memulai yang jelas ini membuat Adjeng jadi ketagihan. Kita dengan histerianya lompat dari atap kapal ke dalam air. Salah satu cara pelepas stress yang jitu, teriak dan lompat, lalu terbenam di air. Sekali lagi, ini saat-saat yang akan selalu gue kangenin, kebebasan melepas kebahagiaan dan keceriaan yang jarang bisa gue dapetin di Jakarta, apalagi di Wisma Pondok Indah 2. Dengan berat hati selesai sudah acara bermain-main di Legon Cabe siang itu, matahari sudah mulai tinggi dan perut pun sudah terasa lapar. Kita pun kembali ambil posisi di dalam kapal untuk beristirahat.. tidur tepatnya. Suara berisik mesin nggak bisa ngalahin ngantuk dan capeknya gue. Gue tidur pules, les, les dan les. Kita makan siang di Sabesi lagi. Hmmm..kali ini apa ya lauk enaknya dari Pak Hayun. Disni pun kita sempet bersih-bersih badan. Kamar mandi di pondoknyaPak Ayun Cuma ada 2, sedangkan rombongan yang ada disitu bukan Cuma rombongan kita aja, jadi mau nggak mau kita nyewa kamar mandi milik penduduk setempat, lumayan deh jadinya nggak terlalu berebut. Setelah bersih-bersih akhirnya menu makan siang kita santap tanpa bersisa. Coba diicip aja menu enak prasmanannya; nasi, ikan goreng, sayurlodeh dan tempe bacem. Plus es kelapa muda dan pisang, nyam..nyam kenyang deh. Setelah menyelesaikan administrasi kitapun siap-siap untuk pulang, berpamitan lalu foto-foto di depan pondoknya Pak Hayun. Kembali kami tidur pulas di dalem kapal, perjalanan Sabesi-Canti lagi-lagi terasa singkat. Sampe Canti sekitar jam 3, kita masih sempet sholat Dzuhur di mushola kecil yang ada di dermaga. Tepat jam 3 angkot yang kita carter dari dermaga berangkat menuju Bakauheni. Jalanan lancar, nggak ada kemacetan yang berarti hanya perlu sedikit antri waktu di km8 karena ada jalan longsor, sebagian badan jalan pun habis termakan. Masih setengah ngantuk di angkot eh udah nyampe lagi di Bakauheni. Pelabuhan juga masih terlihat lengang mungkin karena ini baru hari Sabtu sedangkan sebagian orang menghabiskan libur panjang sampai dengan hari Minggu. Di kapal kali ini kita dikenakan 7.000 untuk ruang lesehan, tapi lumayan kali ini ruangannya nggak terlalu penuh sehingga gue bisa tidur dan selonjoran. 
     Ferry berangkat sekitar hampir pukul 6, meninggalkan pelabuhan diiringi matahari terbenam, langit jingga Kabupaten lampung Selatan melambai pada kami, 20 anak manusia Jakarta yang mampir sekedar mengicip hangatnya air laut Selat Sunda. Gue merasa alam Lampung begitu ramahnya pada kita. Semoga..semoga saja, gue dan 19 orang lainnya nggak hanya sekedar jadi penikmat alam Indonesia dan nggak sekedar Cuma bisa bilang “Gilaa!! Krakatau keren bangett!!” lalu selesai. Setiap perjalanan seharusnya kita semua makin mengerti, bukan ego belaka yang ditonjolkan tetapi menyadari bagaimana seharusnya kita sebagai ‘tamu’ dari planet bumi menghormati dan menghargai si ‘tuan rumah’.
     Sekian catatan perjalanan kali ini Terimakasih untuk Pak Hayun,seksi repot catering dan semua kelengkapan perjalanan. Utine, si Ibu seksi repot urusan administrasi. Pak Unyil dan ABKnya serta Pak Ahyar. Juga untuk 18 temen baru yang lain, u are awesome guys!!

Rincian Biaya Perjalan, untuk contekan lumayan nih
1.       Tiket Ferry Merak – Bakauheni PP @10.000 x 20 x 2 = 400.000
2.       Carter 2 Angkot PP @150.000 x 2 = 600.000
3.       Carter Perahu kap. 20 org + Ranger untuk 2 hari = 2.200.000
4.       Jasa dermaga canti = 40.000
5.       2 kali makan siang @ 12.500 x 20 = 500.000
6.       2 kali kelapa muda @ 3000 x 20 = 120.000
7.       Sewa kamar mandi = 20.000
8.       Sewa 4 galon aqua @ 20.00 = 80.000 

TOTAL 3.960.00 / 20 = 198.000 (dibulatkan) 200.000/orang

Tambahan:
Ojek Pondok Indah-Kebon Jeruk: 25.000
Patas Jakarta-Merak-Bekasi: 40.000
Kamar lesehan di kapal: 7.000


The people
The view


















Kawah Ijen-Baluran-Tj. Papuma


Cerita Perjalanan ke Kawah Ijen-Baluran-Tanjung PapumaLibur panjang 2-4 April gue manfaatin untuk pergi bareng anak-anak SharTrav untuk ke daerah Jawa Timur. Meeting point adalah Stasiun Pasar Turi di Surabaya tapi gue dan 5 orang lainnya sepakat untuk berangkat bareng naik kereta ekonomi Kertajaya dari Stasiun Pasar Senen. Gue nyampe di Stasiun Pasar Senen jam 14.00, padahal kereta berangkat jam 15.45. Gue harus dateng duluan karena tiket 5 temen yang lain ada di gue. Yup! gue merangkap sebagai calo dalam perjalanan kali ini tapi calo yang baik hati tentunya karena harga tiket gak gue lipat gandakan. Anyway... satu per satu pada dateng deh, mulai Nikko, Imam, Yelli dan Nadya. Nggak ada yang gue kenal (seperti biasa) kecuali Nadya. Tunggu punya tunggu, neng Dina nggak dateng-dateng padahal udah jam 15.30. Well, terpaksa deh kita masuk duluan ke peron dan menunggu keajaiban datang, semoga Dina dateng tepat sebelum keretanya berangkat. Bener deh kereta dateng untungnya agak telat dan Dina bisa gabung bareng kita di kereta. Situasi di kereta ekonomi gue rasa perlu gue ceritain karena ini sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Sebenernya pengalaman naik kereta ekonomi udah pernah gue cobain dulu, waktu masih jaman kuliah. Yang ini agak berbeda karena pertama perginya bareng temen-temen yang baru dikenal, kedua.. ini libur panjang dan penumpangnya pun tumpah ruah dalem kereta. Beruntung kita ber-6 punya kemampuan ngotot yang oke, akhirnya orang-orang yang nempatin bangku kita bisa kita usir dengan halus. Kereta berangkat sekitar jam 4 sore lewat. Gue duduk di tengah diapit oleh Yelli dan Imam, sementara bangku di depan gue diisi oleh Nikko, Dina, dan Nadya. Kereta penuh sesak oleh penumpang, banyak yang berdiri sehingga lorong untuk jalan di dalam gerbong pun penuh oleh penumpang. Beginilah potret masyarakat kelas III di Indonesia. Serba ke pinggir, duduk harus minggir-minggir, berdiri pun juga gitu. Tiket emang nggak mahal, Cuma 45.000 tapi karena nggak mahal itulah kita ‘tidak berhak dapet apa-apa’. Ada frame yang paling gue suka dari situasi kelas pinggir ini. Di antara penuh sesaknya penumpang, masih aja ada seliweran para penjaja makanan yang berjuang nggak mau kalah dari para penumpang, ngapain lagi mereka kalo bukan berjuang mencari receh dengan menjual makanan. Dari gorengan, kipas, nasi, minuman, koran bekas untuk alas duduk, boneka dan tas untuk oleh-oleh, serba ada lah pokoknya. Tak lupa kami pun membeli kipas di dalam kereta (asli ini penting banget!! panaaaaaasnya naujuhbilahiminjalik!)

Sudah jelas, pasti dan nyata rasanya perjalanan dengan kereta ekonomi akan memakan waktu yang cukup lama, bayangin aja berangkat jam 4 lewat masak nyampe Cirebon jam 9 malem, padahal normalnya ke Cirebon dengan Cirex itu 3 jam saja. Anyway, tentunya kita udah terima resiko ini jauh-jauh hari waktu pesen tiket ekonomi bukan? Lalu? ya nikmati saja...*kembali tidur dengan keringetan sambil sesekali kipas-kipas* Jam 7 malem, perut udah ngilik kitik minta dikasih makan. Untungnya gue dibeliin nasi bungkus sama bokapnya Nadya yang notabene adalah Om gue..amien, amien makasih ya Om. Gue nggak kebayang perut gue gimana kacrutnya kalo gue harus beli nasi bungkus di kereta,seperti yang dialami Nikko.. :) nanti aja yah ceritany pas udah di Ijen. Berbagai menu kayaknya dijajakan di kereta, sebut aja, nasi ayam, nasi telor, nasi pecel, ada gorengan juga yang dijtata rapi di atas tampah dan dijajakan di atas kepala mbok-mbok. Mulai masuk daerah Kudus pun jajanan didominasi oleh jenang dan wingko.
Ada kejadian lucu waktu kereta berhenti di Semarang. Dina yang sudah pengalaman naik kereta ekonomi sebelumnya memberitahu kami bahwa kereta biasanya berhenti agak lama di stasiun Cirebon dan Semarang, jadi itulah kesempatan kita untuk ke WC dan buang air kecil. Dari awal gue sudah mengantisipasi dengan minum amat sangat sedikit supaya keinginan untuk buang air kecil bisa ditahan sampai Surabaya. Rupanya Nadya udah nggak tahan untuk ke WC dan pipis. Beruntung terasanya pas di Stasiun Cirebon, jadi keluarlah Nadya dari kereta dengan ditemani Imam untuk ke WC. Rasanya kereta berhenti lama sekali, lebih lama daripada di stasiun-stasiun kecl lain sebelum Cirebon. Sekitar 10-15 menit kereta berhenti dan Nadya dan Imam pun kembali tepat waktu. Kereta kembali berjalan, sedikit demi sedikit menapaki daerah Jawa Timur.Gue lirik GPS 76csx di tangan dan berusaha mengkalkulasi waktu tiba kami di Surabaya, sekedar mengalihkan rasa bosan dalam kereta saja sebenarnya. Sekitar jam 2-3 kereta pun memasuki Stasiun Semarang Poncol. Berhenti. Dina dan Yeli saling pandang. Sepertinya telepati ‘ingin pipis’ antara mereka berdua nyambung. Tiba-tiba gue juga merasa perlu untuk ke WC dan buang air kecil. Ah belum terlambat nih untuk pipis, pikir gue. Untuk keluar dari gerbong keret aja penuhperjuangan wlaupun belum seberapa waktu ngantri WC. Yah bayangin aja, seisi kereta kebelet pipis dan bilik WCnya cuma ada sedikit. Gue berada di antrian paling belakang aja. Belum hilang ngos-ngosan gue saat menerobos keluar kereta, bel tanda kereta akan berjalan udah dibunyiin. Sontak semua pengunjung WC berbalik dan tergopoh-gopoh menuju kereta Kertajaya, satu-satunya kereta yang lagi berhenti dan akan segera berangkat sebentar lagi. Masuk ke kereta lagi aja perjuangannya harus mati-matian! Bener-bener deh, ternyata di negara ini jadi golongan kelas III selain harus serba ke pinggir ternyata juga butuh perjuangan dalam setiap langkah, bahkan langkah mau ke WC aja harus diperjuangkan mati-matian, berdesak-desakan dan mati-matian. Dan disinilah gue lagi, di kursi kereta ekonomi nomer 9B duduk sambil menahan pipis..wew!! Bener-bener nggak akan lupa sama pengalaman ini. Sayang, gue lupa motret hingar bingar situasi di kereta selama perjalanan. 
Jum’at 2 April, akhirnyaaaaa..setelah bangun, tidur, bangun, tidur..kami melihat matahari muncul menyapa kami di luar sana. Indahnya pagi tetap merona buat gue di balik buramnya jendela kereta ekonomi. Kereta berjalan sedikit tergesa-gesa, membelah persawahan yang dari tadi ituu aja yang keliatan. Udah pagi tapi tetep aja merasa kok ni kereta nggak nyampe-nyampe ya. Kereta udah mulai sepi, penumpang lain udah banyak yang turun. Kesempatan untuk meluruskan kaki nih, pikirku. Wih, agak ajaib melihat kaki yang sudah tertekuk selama lebih dari 12 jam. BENGKAK!! terlihat seperti ibu hamil yang kakinya guedenya alaihim. Lucu! Jam 7.30, kereta pun akhirnya merapat ke Stasiun Pasar Turi. Alhamdulillah..akhirnya kami ber-6 mampu melewati 14 jam dalam kereta ekonomi Kertajaya, amazing! 
Di Stasiun Pasar Turi udah ada Dj. Dj naik kereta bisnis Gumarang dari Jakarta dan tiba belum lama dari kami. Selain kita ber-6 ada Mbak Ida (Farida) dan Mas Teguh yang juga naik Kertajaya tapi duduk di gerbong berbeda. Kami langsung berhambur keluar nyari kamar mandi,.*prodak menahan kencing sejak dari Semarang* Beruntung, kamar mandi di luar stasiun bersih luar biasa dan boleh dipake mandi. Cuma Rp 3.000 untuk mandi dan Rp 3.000 untuk ngecharge HP. Selesai mandi, badan udah seger, rasanya plong bener, walaupun kaki masih bengkak dan guede tidak menyurutkan rasa lapar gue ternyata. Gue sarapan di kantin dalem stasiun sambil masih menunggu kedatangan Fiksi dan temen-temen dari Bandung. serta Shanti dan Rena yang berangkat pake bis dari Jakarta. Gue diminta Dije untuk jadi bendahara (penunjukkan secara sepihak sebenernya tapi saya senang kok) dan ngumpulin uang patungan untuk nyewa Elf selama 3 hari; Rp. 200.000 aja untuk patungan sewa mobil, bensin, dan tol. Jam 9 lewat dikit 12 orang udah ngumpul, kurang Shanti dan Rena. Setelah dikontak ternyata mereka baru nyampe Semarang jam 5 pagi yang artinya masih lamanyampe Surabayanya. Karena takut membuang waktu kita pun janjian untuk bertemu dengan Shanti dan Rena di terminal bis Probolinggo, dan kita pun brangkaaaaaaaat. Elf dengan tarif Rp 600.000 / hari (termasuk tip supir) ini berkapasitas 14 (tanpa supir), lumayan empet-empetan sebenernya tapi gak apa-apa, dibikin nyaman aja. 
Mulai masukjalan tol Porong-Sidoarjo kemacetan pun mulai terjadi. Lokasi semburan lumpur yang dihalangi tanggul berada di arah Utara dari jalan tol yang mengarah Barat-Timur. Terlihat tanggul tersebut sudah dipenuhi oleh para pedagang asongan dan penjual minuman, belum lagi sekumpulan ojek yang nge-tem disitu. Kabarnya sekitar lokasi lumpur lapindo di pinggir jalan tol ini mendadak jadi tempat wisata warga sekitar yang penasaran ingin lihat lumpur lapindo ini. Gue juga penasaran sih tapi kali ini bukan saat yang tepat untuk mampir karena road trip ini dipastikan sangat ketat jadwalnya. Perjalanan ke Sidoarjo bener-bener tersendat. Gue tertidur begitu juga dengan yang lain sehingga Renokenongo, Legok, Beji, bangil, Pasuruan , Rejoso, dan Lekok terpaksa terlewatkan. Udara sangat panas dan AC mobil sangat rusak tapi entah kenapa gue tidur pules banget. Untunglah kipas sate cap kereta ekonomi belum kita buang sehingga bisa agak adem dengan kipasan. Nggak kerasa udah 3 jam perjalanan dan gue terbangun pas udah waktunya makan siang. Kita makan di Rawon Nguling dimana lagi kalo bukan di Kota Nguling yang terletak di pinggir Jalan Raya Nguling. Lumayan rame nih restonya, emang cukup terkenal dan enak (ada cabangnya loh di Jakarta, Jl. Cikajang-->daerah Santa). Hampir semuanya pesen Rawon walau sebenernya menu lain khas jawa timuran juga ada. Enak, rame, dan murah, cukup 17.000 ajah udah lengkap pake es jeruk. Melanjutkan perjalanan dengan cerita-cerita sama Dina dan Mbak Ida cukup seru juga. Well, bukannya gitu ya prinsip sharing travelling; first you go alone then you make friends. Tadinya Dj sempet kepikiran untuk ke air terjun Madakaripura dan menghabiskan waktu sampe sore disana, tapi gue, Mbak Ida, dan Dina kekeuh waktunya nggak akan cukup. Cobalah tengok peta dan GPS, kalkulasi jarak dengan menarik garis lurus aja (N 235⁰ E) sudah sekitar 30km, apalagi kalau jalannya ke arah Selatan dulu lalu berbelok ke arah Barat, wah bisa lebih dari 50km apalagi mobilnya kan bukan mobil turbo apalagi pak supirnya (punten nya pak) yang sub-standart of sub-turbo alias super slow ples super lemota, oh! (ini sungguhan temans, makanya nanti di note aku ga rekomen untuk penyewaan elf ini). Ditambah referensi Mbak Ida yang udah pernah kesana yang mengatakan kalo wilayah ini adalah wilayah kental dengan premanisme, akhirnya ke Madakaripura pun nggak jadi kitapun langsung nyari jalan ke terminal Probolinggo. Setelah eyel-eyelan sama pak supir yang keras kepala (pak, punteun deui ieu mah) yang ternyata juga bolot parah (haduh gusti, ampuni hamba!) akhirnya kitapun nyampe di terminal Probolinggo untuk menjemput Shanti dan Rena yang datang dari Jakarta pake bis. Well, so here we are, 14 people are complete with 1 annoying driver (sorry, but it’s true!) ready to take off to Kawah Ijen.
Perjalanan ke Kawah Ijen bener-bener panjang. Dari Probolinggo, melewati Jalan Raya Paiton yang tersohor dengan PT Paiton Energy-nya lalu.. belum sempat mencapai kota berikutnya, gue sudah tidur dengan nyenyaknya. Jalan Raya Paiton menuju Situbondo ini mulus bukan main dan lebar membuat perjalanan makin nyaman dan tidur makin nyenyak. Kawah Ijen terletak di sebelah Tenggara dari Kota Situbondo / sebelah Baratdaya TN Baluran. Untuk menuju Kawah Ijen ada dua pilihan; pertama bisa dari Taman Nasional Baluran, Banyuwangi (Jalan Raya Situbondo-Banyuwangi / Timur-Timur Laut dari kawah Ijen) berbekal dari blog orang, jalur ini ga disarankan karena medannya yang cukup terjal dan licin setelah hujan ditambah jalannya banyak yang rusak. Walaupun lebih dekat jaraknya dan rute favorit wisatawan karena Bali-Banyuwangi tidaklah terlalu jauh. Pilihan kedua yang banyak ditulis di blog adalah dari Bondowoso. Kalo dari Bondowoso, begini rutenya:


1. Ambil arah menuju Kota Situbondo (Dengan asumsi posisi berada di Kota Bondowoso)
2. Terus ikuti jalan melewati Wonosari sampai bertemu dengan pertigaan Tapen. Dari Tapen belok ke arah Timur. Rute Tapen-Sempol, jalannya rusak dan berlubang. Di wilayah Sempol ada 2 pos lapor dan jaga (karena ini adalah wilayah PTPN) yaitu saat akan memasuki Jampit dan Blawan.
3. Dari sini perjalanan dilanjutkan menuju pos Paltuding (pos sekaligus desa terakhir sebelum mencapai Kawah Ijen).
4. Rute Sempol-Paltuding adalah trek menanjak dengan jalan yang cukup mulus dan lebar. Untuk Guesthouse bertebaran banyak sekali di Paltuding dan Jampit.
5. Pos Paltuding berlokasi 3km sebelum Kawah Ijen, tersedia tempat untuk parkir mobil, WC umum dan warung seadanya (mie goreng/rebus,gorengan,aqua,roti dan snack)



Jam 5 sore kita mulai dari Probolinggo dan baru sampe di Paltuding kurang lebih jam 12 malam. Perjalanannya emang panjang dan sangat jauh. Mungkin bisa lebih dekat kalau mencapai pertigaan Tapennya langsung dari Situbondo. Walaupun jarak Bondowoso ke Kawah Ijen (say Paltuding) hanya sekitar 75km tapi kondisi jalan dari pertigaan Tapen-Sempol yang rusak, berkelok-kelok, sempit, dan licin terus terang agak menyulitkan perjalanan. Tambahan, papan jalan menuju Paltuding dirasakan amat sangat kurang, jadi lebih baik bawa peta atau setidaknya harus rajin-rajin nanya. Satu hal lagi, jika naik mobil pribadi, jangan lupa untuk penuhin bahan bakar di Bondowoso, karena nggak ada tuh SPBU sepanjang Wonosari sampe ke Ijen. Beruntung di Paltuding ada yang jual solar eceran, 6.000 untuk 1 L, langsung kita beli 20L, nggak apa-apa deh mahal daripada mobil mogok dan harus dorong ?? Sebelum Sempol kita cuma sempet berhenti 45 menit untuk makan mie rebus sebelum masuk wilayah Sempol. Nggak banyak pemandangan yang bisa dilihat, udah malam dan ga banyak penerangan dan lampu jalan di sepanjang jalan. Hanya karena malam itu bulan penuh, keindahan Sempol-Paltuding serta samar-samar si Gunung Argopuro dan Rawung. Nyampe Paltuding, nggak pake ba-bi-bu lagi kita buka sleeping bag, gelar matras. Kita nggelar matras di pelataran sebuah cafe kayaknya (keliatan dari plangnya aja) yang berbentuk rumah panggung, lumayan kan!? Sebagian tidur di dalem mobil, sebagian di luar. Gue pilih tidur di luar laaah, percuma dong bawa gembolan sleeping bag kalo nggak dipake. Rencananya adalah kita mulai trekking ke Kawah Ijen jam 3 pagi untuk melihat matahari terbit, uhh kedengerannya manis banget ya. Tapi menuju kesana nggak semanis itu loh. Lagi asik-asik tidur dibangunin aja gitu sama Dije “udah setengah empat woy!” ihh..nggak percaya rasanya, kayanya baru merem deh. Bersiaplah kita dengan perlengkapan perang masing-masing. Gila! Paltuding itu dingin banget! Gue nyesel Cuma bawa 1 sweater, sweater lagi bukan jaket. Alhasil kaos dan sweater gue dobel lagi pake rain coat panjang, lumayan. Udah gitu pake nggak bawakaos kaki lagi, untung dipinjemin Shanti (relain ya Shan kaos kaki baru lo ini). Kira-kira jam 4 kita mulai perjalanan ke Kawah Ijen. Dengan membawa barang secukupnya dan mendaftarkan rombongan ke pos administrasi kita pun berjalan pelan-pelan bersama rombongan-rombongan lain yang niat trekking pagi demi matahari terbit. Perjalanan sejauh 3km ditempuh kuranglebih 1.5 jam. Di kilometer pertama jalur masih landai, mulai di kilometer kedua sampai terakhir jalur terus menanjak dan berkelok. Jangan kaget kalo dalam perjalanan kadang berpapasan dengan para penambang rakyat yang memikul belerang dari Kawah Ijen sampai ke pos timbangan (km ke-2). Untuk satu kali perjalanan berat rata-rata belerang yang dipikul mencapai 95kg. Wew.. sudah terbayang kira-kira betapa kerasnya hidup untuk sesuap nasi? Dan 1kg belerang dihargai oleh pengumpul sebesar Rp 600 saja. Miris? Sudah pasti. Makanya hargai hidup yang kamu punya ketimbang menyesalinya.
Material lahan cukup bersahabat antara lain abu vulkanik, leleran lava, lapili dan bom gunungapi sehingga jalannya padat dan nggak licin di saat jalan menanjak tapi medannya itu lo yg kurang bersahabat, nanjak terus. Jalan menuju kawah cukup lebar, kira-kira 2-3m, rapih dan bersih dari semak-semak, tong sampah juga gampang ditemui sebelum pos timbang, maka dari itu jangan buang sampah sembarangan ya kalo main-main kesini, kalopun di sekitar kawah nggak ada tempat sampah, simpen aja dulu sampahnya, seberapa berat sih mbawa aqua botol kosong dan bungkus-bungkus permen lainnya ? Oh iya, disini akan gue ceritain alasan untuk tidak makan makanan di kereta. Lagi capek-capeknya nanjak, perut Nikko mendadak mules dan ngajak ribut. Well, bisa juga karena masuk angin ya, mengingat perjalan darat kita yang panjang bukan main apalagi malamnya kita hanya sempet makan mie rebus di warung kecil di daerah Sempol.
Hawa makin dingin membuat gue tetep berjalan terus walaupun pelan-pelan supaya badan tetep hangat. Perjalanan ke atas untuk gue membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam udah sama brentinya di pos timbangan. Kalo pas nanjak agak susah ya brentinya jadi mau nggak mau harus tancep gas terus, nggak apa-apa pelan-pelan asal konsisten, penting loh untuk mengatur nafas. Sampai di atas, nafas yang ngos-ngosan langsung berubah normal karena semangat yang meledak-ledak. Walaupun masih agak gelap tapi aura kecantikan Kawah Ijen udah terasa. Rencana untuk melihat matahari terbit dan nongol di balik garis cakrawala agak berubah karena posisi kita yang nggak pas untuk menatap langit cakrawala sebelah timur.Meskipun begitu kita nggak bosen nungguin perginya kabut yang menutupi kawah. Daerah Ijen dan sekitarnya dibentuk oleh morfologi yang berbeda-beda. Menurut Kemmerling (1921) morfologi tersebut adalah; runtuhan Gunung Api Ijen Tua, Kendeng, Ringgih (elevasi 2000m), Gunung api bagian timur meliputi Merapi, kawah Ijen, Papak, Widodaren, Pawenan. Sebelah selatan meliputi Gunung Rante, Cilik, dan sebelah barat meliputi Jampit yang merupakan bendungan jebol dari Gunung Raung dan Suket. Jadi, Kawah Ijen yang ada di hadapan gue ini termasuk ke morfologi gunung api bagian timur. Ternyata Kawah Ijen dan Gunung Raung adalah gunung api yang masih aktif loh. Setelah kabut sedikit demi sedikit menghilang, air kawah terlihat hijau kebiruan. Tentu ini karena kandungan mineral pada air tersebut. Mungkin aja karena kandungan Fe dan Sulfat yang tinggi, karena kalo kedua unsur ini bereaksi akan membentuk senyawa FeSo4 yang berupa padatan berwarna hijau. Gue Cuma berani duduk sampe bibir kawah aja, ga mau turun lebih ke bawah, nggak kuat untuk menghirup bau gas H2S / belerang yang sangat santer. Pemandangan dari sini bisa keliatan gagahnya Gunung Raung, lalu kalo melihat Selatan-Baratdaya bisa dadah-dadah sama Gunung Ranti dan Linu. Tepat di sebelah Barat ada Gunung Widodaren dan Papak. Lalu ada Gunung Madipuneng dan Pawenan di sebelah Utara. Puas berfoto-foto dan berleha di bibir kawah kami pun turun walaupun hanya gue, Nikko dan Shanti karena yang lain masih asik turun ke pinggir kawah sampai ke tempat dimana para para penambang batu belerang menambang. Sangat beresiko.



Jam 9 pagi kita sudah siap berangkat menuju Baluran. Di pos Paltuding selain ada WC umum yang bersih dan bisa buat mandi ada warung untuk sarapan juga, yah lumayan warung seadanya yang penting bisa ngisi perut. Perjalanan ke Baluran dicapai lewat jalur ke arah Banyuwangi. Jalanan aspal rusak parah ditambah medan yang berliku dan curam turunannya, memang lebih dekat tapi tetep bikin kita was-was akan kondisi jalanan. 


Sampe di Baluran sekitar tengah hari. Kita sepakat untuk skip makan siang demi menghemat waktu. Sebagai gantinya cemilan pengganjal perut pun ludes termasuk pisan sesisir yang gue beli di Paltuding. Pintu masuk Baluran terletak di pinggir jalan raya Situbondo-Banyuwangi. Dalam kawasan Baluran, pos pertama yang harus kita datangi adalah pos Bajulmati. Ini tak lain adalah pos untuk membeli tiket masuk kawasan Baluran. Sayang.. baik petugas maupun informasi yang disediakan disini masih sangat kurang. Tidak ada brosur, penjelasan yang cukup tentang ‘Baluran’ apalagi gambar/foto/poster yang memamerkan tempat wisata ini. Dari pos ini kita harus menuju pos berikutnya atau disebut Wisma Bekol yang berada kira-kira 12km dari pos pertama ini. Jalanannya agak sempit, kalo ada 2 mobil dari ara lain harus bergantian, tambahan lain jalannya rusak. Pemandangan di samping kanan dan kiri jalan hanyalah semak belukar yang tumbuh tanggung dan berantakan. Gunung Baluran yang berada di sebelah Utara juga masuk ke dalam kawasan ini. Sepanjang Baluran highway dari pos Bajulmati sampai Wisma Bekol, si Gunung Baluran inilah yang menyapa kita dengan viewnya yang menarik. Hampir bosen sebenernya berada di Baluran highway karena kita nggak tau apa yang mau dilihat. Sepanjang jalan nggak ada liat binatang sama sekali yang katanya banyak monyet, rusa, dan ayam hutan. Sampai kira-kira 300m sebelum Wisma Bekol barulah kita melihat hamparan padang rumput yang luaaaaas bukan main. Kitapun turun dari mobil dan berjalan kaki sampai Wisma Bekol. Ngapain lagi kalo bukan untuk hunting foto di padang rumput ini. Nggak lama, 2 ekor burung merak terbang di depan kita kemudian menghilang jauh di dalam semak. Padang rumput menghampar di bagian selatan kawasan ini sedangkan di sebelah utara berdiri gagah Gunung Baluran dengan dikelilingi semak dan hutan. Gue berjalan terus ke Wisma Bekol, niat nyari tolet, sambutan dari monyet ekor panjang nggak kalah ramah dari petugas di pos Bajulmati. Wisma Bekol adalah penginapan ternyata, tersedia fasilitas akomodasi dengan berbagai tipe dan harga. Wismanya cukup bersih, saat itu sedang sepi, nggak ada pengunjung yang menginap. Disini informasinya lumayan lengkap, ada peta, what to see, berbagai spesies burung-burung dan hewan lain yang ada disini. Para petugas cukup ramah dan membantu. Gue paling suka melihat view ke arah timur dari menara pandang yang terletak agak di atas dari Wisma Bekol. Disitu kelihatan sekumpulan rusa-rusa sedang leyeh-leyeh sambil mamam rumput (halah!). Dari Wisma Bekl perjalanan dilanjut ke arah timur, yaitu Pantai Bama, sekitar 3km aja jalannya. Sore itu, jam 4, terlihat pelangi di sebelah timur, arah kemana kita akan pergi. Seperti mengejar pelangi rasanya sore itu, pak supir memacu mobilnya pelan-pelan seperti membelah padang rumput demi mengantarkan kami menuju pantai, sementara yang di dalam mobil sibuk mengambil objek sang pelangi di ujung timur. Pantai Bama pun sepi, kami disambut lagi oleh monyet ekor panjang. Disinipun ada wisma yang cukup rapi dan bersih yang saat itu lagi nggak ada pengunjung. Rupanya Pantai Bama ini sering digunakan sebagai penelitian terumbu karang oleh mahasiswa-mahasiswa biologi. Kami nggak bisa lama-lama disini karena hari makin gelap dan mendung sudah menggantung di langit, ditambah belum makan. Akhirnya kami keluar dari TN Baluran dan berada di jalan raya Situbondo-Banyuwangi pas pukul 6 sore. Selanjutnya tentu saja nyari warung makan terdekat. Puas mengisi perut di warung pinggir jalan dengan menu nasi rames, kita pun istirahat sambil ngecharge HP dan kamera, peralatan tempur penting kalo lagi ngetrip. Tepat jam 8 malam kami pun berangkat lagi, menuju objek terakhir dari trip kali ini; Pantai Tanjung Papuma di Jember. Supir melajukan mobil di jalan raya Situbondo mengarah kembali ke arah Situbondo, agak bolak-balik memang jadinya trip ini karena objek pertama, yaitu Kawah Ijen posisinya berada di tengah antara Baluran dan Tanjung Papuma.
Untuk mencapai Papuma dari dari Baluran adalah kembali ke jalan raya Situbondo-Banyuwangi mengarah ke Kota Situbondo. Kemudian ambil arah ke Selatan menuju Kota Bondowoso (papan jalan cukup jelas kok) atau kalo bingung nama jalannya adalah jalan raya Situbondo-Bondowoso. Papuma berada di dalam wilayah Kabupaten Jember dan berlokasi di Kecamatan Ambulu. Oleh sebab itu kita nggak perlu ngubek-ngubek Kota Jembernya, cukup ambil arah Selatan ke luar Kota Jember, nanti akan ada papan penunjuk jalan bertuliskan ‘Objek Wisata Watu Ulo’ (Papuma dan Watu Ulo ini lokasinya bersebelahan dan terleltak di kecamatan yang sama). Papan jalan sepanjang jalan cukup minim, berbekal GPS yang peta jalan kecilnya nggak lengkap, posisi Kota Jember dan Pantai Papuma, kurang lebih gue dan Dina bisa mengarahkan co-pilot dan supir untuk memilih jalan yang akan dilalui. Kami sudah hampir dekat dengan pantai di tepi Samudra Hindia tapi kok penunjuk jalan seakan-seakan lenyap. Beruntung matanya Dina masih awas dan dia liat di pinggir persimpangan jalan papan bertuliskan ‘Pantai Papuma 3km’ dengan tanda panah mengarah ke Selatan. Sepertinya ini yang dimaksud dengan ‘jalan baru’ dalam catper seseorang yang sudah pernah kesini. Ditulis dalam blognya bahwa jalan baru tersebut berbatu, sempit dan tidak beraspal seperti jalan utama yang sedang kita lewati. Kami pun berhenti tepat di persimpangan itu. Jalan itu sudah beraspal, sempit, gelap, dan dirantai ples gembok. Kira-kira malam itu hampir jam 12 malam. Kali ini pak supir inisiatif nanya seorang penduduk yang kebetulan masih nangkring depan rumahnya sambil ngeliatin kita yang kebingungan. Rupanya beliau menyarankan kita untuk ke rumah salah satu warga, sebut saja Pak Bambang (bukan namam sebenernya-saya lupa!) untuk minta dibukakan gemboknya. Diplomasi tingkat desa selesai, nggak sampe 15 menit gembok rantai pun dibuka dan kita melaju menuju Pantai Papuma. Jalan ini berasal dan tidak terlalu rusak, medannya pun nggak seekstrim Tapen-Sempol cuma nanjak dan turunan seperlunya. Pos 1 adalah yang letaknya di pertigaan,kaloke kanan menuju Pantai Watu Ulo dan kalo ke kanan ke Pantai Papuma. Pos ini udah di pinggir pantai dan terletak agak di tebing. Malam itu bulan purnama jadi kita pemandangan malam di pantai samar-samar udah keliatan. Dari pos ini jalan baru menanjak dan sempit, untung aspalan. Lalu sampailah kita di Pantai Papuma, pantai cantik yang kini sudah dikomersilkan oleh PTPN. Pos 2 bukan cuma nyobek-nyobek karcis, mereka juga minta duit lagi..grrr kenapa ya gak bisa one stop ticket?? Ahh sudahlah, yang penting Pantai Papuma suda di depan hidung nih. Buru-buru gue ke tepi pantai, cari-cari tempat nyaman untuk gelar matras. Perfecto! Langit gelap pekat, bintang berserakan aja gitu di langit, dan bulan purnama yang bulat, penuh, dan sempurna menambah kelengkapan pemandangan pengantar tidur kami. Sebelum cabut tidur, orientasi dulu nih situasi pantai yang rapidan tertib ini. Ada beberapa pendopo yang disediakan pengelola supaya kita bisa istirahat disana. Disediakanjuga camping ground untuk mereka yang mau buka tenda. Jangan khawatir, warung makanan dan WC umum cukup memadai baik jumlah dan kebersihannya. Sayangnya pihak pengelola mengharuskan kitamembayar iuran uang keamanan bagi merekayang ingin tidur di pendopo / nenda, anehkan?! Buktinya terjadi tawar menawar antara gue dan pengelola untuk besarnya uang keamanan ini, ahh geram deh rasanya jadi korban pungli. Untuk penginapan disini juga tersedia, ratenya sekitar 200.000-300.000 dengan kamar mandi di dalam, gue nggak terlalu menggali banyak informasi soalnya nggak berminat juga. Urusan administrasi kelar tiba saatnya meluruskan kaki, merebahkan punggung di atas matras... ahhh nikmat sekali rasanya. Again, this moment is surely unforgettable. Berbaring di bawah langit malam dikeliling teman-teman hebat seperjalanan adalah cerita yang nggak akan pernah selesai kita ceritakan sampai datang cerita berikutnya, begitu seterusnya, sampai pada akhirnya kita sadar begitu banyak cerita dari sekian banyaknya perjalanan bersama begitu banyaknya teman-teman yang hebat, seperti di sebelah kanan dan kiri gue sekarang; Rena Alana dan Fiksi Sastrakencana.
Minggu, 4 April adalah hari terakhir perjalanan ini. Oranye redup warna mentari terbit hari ini adalah yang pertama gue lihat begitu membuka mata. Alhamdulillah...masih menghirup udara.. dan Subhanallah masih bisa menikmati suguhan alam dari Gusti Allah S.W.T. Kehidupan mpun mulai menggeliat. Beres-beres matras dan sleeping bag lalu lanjut ke hunting foto dan eksplore Pantai Papuma. Tepat di ujung tanjung terdapat dua buah batu besar, yang sepertinya adalah breksi dari Formasi Mandalika. Ombak cukup besar karena posisi tanjung yang menghadap langsung ke Samudra Hindia. Pemandangan ini sekilas mirip Ciantir di Sawarna dengan ciri khas batu besar yang menjulang tinggi dan sedang dihantam ombak tapi menurut gue, selalu ada yang berbeda dan khas dari tiap tempat yang kita datangi, walaupun itu sama-sama pantai. Sedangkan yang khas di Papuma ini adalah pos atau seperti menara pandang yang letaknya tepat di ujung tanjung dan berada di atas. Anak tangga yang harus ditapaki rapi tertata dari semen. Dari pos pandang ini pandangan bisa dilempar sejauh-jauhnya ke Samudra Hindia dan teluk tempat kita tidur semalam. Jadwal hari ini juga masih ketat mengingat temen-temen yang pulang ke Bandung harus sudah di Stasiun Gubeng jam 3 sore. Untungnya lokasi ini bisa dibilang tertata rapi begitu juga dengan kamar mandi umumnya, semoga ini pertanda baik ya. Kita nggak sempet icip-icip seafood di warung-warung pinggir pantai karena waktu yang amat mepet. Jam 9 tepat, setelah semuanya mandi dan bersih-bersih kita pun berangkat menuju Surabaya. Jangan lupa untuk foto-foto di pos atau tepatnya menara pandang yang letaknya di ujung tanjung. Anak tangganya rapi terbuat dari semen dan membuat siapapun dengan mudah ingin berfoto-foto disini. Dari pos pandang ini, kelihatan teluk tempat kita tidur tadi malam dan pantai-pantai lain di sekitar Tanjung Papuma. Kebetulan di trip kali ini gue minjem kamera sahabat gue, Arief jadi agak sulit kalo mau bernarsis-narsis, banyakan disuruh motoin orang-orang kayaknya. Dina yang hobi banget minta difoto sambil loncat kali ini nggak minta foto dengan gaya itu karena pos pandang ini cukup sempit dan sudah dibajak oleh bapak pedagang minuman, jadi mau ngga mau kita agak minggir sedikit ke bibir tebing untuk bisa berfoto dengan background yang oke banget. Dina jelas nggak berani loncat-loncat di kondisi terbatas kayak gini, bisa longsor lokal nih Tanjung Papuma. Setelah kita puas foto-foto disini kita berjalan lagi ke tempat dimana mobil diparkir untuk segera packing, beres-beres, dan sarapan. Sambil sarapan di sebut saja kantin, kita ngobrol-ngobrol sambil liat-liat foto yang tadi. Fiksi, Nizar, dan Riski kaget dan nyesel karena mereka belum sempet ikutan foto-foto di iconnya tanjung Papuma, 2 batu cadas yang terlhat lebih eksotis kalo kita berfoto di pos pandang itu.
Perjalanan Papuma ke Surabaya normalnya akan memakan waktu sekitar 5 jam, kenapa gue bilang normal? Karena kita nggak boleh lupa dengan lumpur lapindo yang sudah tentu bikin perjalan tersendat. Mobil tancep terus menuju Surabaya. Saat perjalanan pulang barulah pemandangan di sepanjang jalan menuju Papuma baru keliatan. Sebagian jalan aspal yang menanjak itu ditumbuhi pohon-pohon jati remaja, batangnya masih kecil dan kurus walaupun sudah membumbung tinggi menuju langit. Pohon-pohon itu menambah adem pagi yang terik saat itu. Perjalanan menuju Surabaya lebih sepi dari sebelumnya, kami semua tertidur, ya pasti karena itu. Perjalanan tersendat lagi saat memasuki Sidoarjo. Antrian panjang mobil-mobil dan udara panas bikin satu persatu dari kita bangun..clingak-clinguk, liat jam, dan mengais-ngais sisa-sisa cemilan yang mungkin tersisa di mobil.


Kira-kira jam 14.00 kita nyampe Surabaya, langsung menuju warung Lontong Balap Pak Min di sekitar Stasiun Pasar Turi. Grup Bandung yang keretanya berangkat jam 16.30 dari Stasiun Gubeng makan terburu-bururu dan nggak bisa tenang begitu juga dengan Yelli yang berangkat dengan jam yang sama tapi dari Stasiun Psar Turi. Mereka berharap bisa diantar ke stasiun tepat waktu oleh pak supir. Gue nggak bisa terlalu menikmati lontong balap siang itu, selain karena tendanya penuh sesak pengunjung, panas, ditambah liat mukanya Fiksi, Nikko, Nizar, dan Rizki juga Yelli yang gelisah takut ketinggalan kereta. Mungkin sesutu yang harus dicoba lagi nanti waktu gue ke Surabaya; makan lontong balap dengan tenang di tengah angin sepoi-sepoi. Pada dasarnya lontong balap adalah lontong+toge+tahu+bola-bola kacang merah (lupa namanya apa) disiram pake kuah petis yang encer, kalo kuah petisnya agak kentel sedikit mungkin lebih nikmat buat gue. Anyway, begitulah cerita si lontong balap tadi. Kenapa dinamakan lontong balap karena dulu, konon sang penjual menjajakan makanan ini dengan dipikul, karena saking beratnya si penjual berjalan terburu-buru dan tergopoh-gopoh, mirip seperti orang yang sedang balapan lari. Maka dari itu, dinamakanlah lontong balap. Akhirnya di Stasiun Pasar Turi kami berpencar. Gue, Shanti, Rena, Imam, dan Dj berangkat dari stasiun ini dengan Gumarang, sedangkan Fiksi, Nikko, Nizar, dan Rizki berangkat dari Gubeng, sama seperti Nadya hanya beda jam saja berangkatnya. Kemudian Mbak Ida, Mas Teguh dan Dina masih berencana berputar-putar kota Surabaya.Begitulah cerita perjalananan trip kali ini. Banyak cerita lucu, menyebalkan, seru, dan juga hal-hal di luar dugaan yang bisa jadi kenangan. Lengkap! Dan perjalanan gue pun ditutup dengan tidur panjang di dalem kereta bisnis Gumarang menuju Stasiun Pasar Senen. Akhir perjalanan kereta ini pun menimbulkan cerita baru lagi karena kereta yang seharusnya tiba di Stasiun Pasar Senen jam 6 pagi molor semolor-molornya dan baru nyampe jam 8.45. Oh iya, ini sudah hari Senin loh! Haha.. bisa ditebak gimana gelagapannya gue nawar-nawar ojek dari Stasiun Pasar Senen sampe Radio Dalam tempat kosan gue berada, ditambah speak bombay gue yang lihai ke boss supaya bisa dateng telat hari itu. Baca aja yah ceritanya di iniceritagita. Sampai ketemu lagi di cerita selanjutnya.
Oret-oretannya sang bendahara trip kali ini. Lumayan nih buat contekan kalo mau ke Kawah Ijen-Baluran-Papuma
Transport dan bahan bakar
1. Sewa elf : 600.000 / hari x 3 hari = 1.800.000
2. Solar total (3 hari) 103L : 4.500 x 103.L = 466.000
3. Solar eceran beli di Paltuding : 6.000 x 20L = 120.000
4. Parkir+tol PP = 10.000
Retribusi objek wisata
1. Pos jaga di Sempol (menuju Ijen) : 1.000 x 15 org = 15.000
2. Pos Paltuding (di Ijen) : 3.500 x 14 org+mobil = 120.000 (yang diitung yang nanjak doang)
3. TN Baluran : 2.500 x 15 org+mobil = 43.500
4. Tiket masuk kawasan wisata : 7.000 x 14 org+mobil = 100.000 
5. Tiket (lagi) masuk Papuma : 1.000 x 15 org = 15.000
6. Uang keamanan (nggak bener nih) : 25.000
Cemal-cemil buat rame-rame dan share lainnya
1. Aqua botol isi 24: 36.000
2. Makan supir : 26.000 (bapaknya suka ngambekkalo nggak makan nasi jadi sering nggak makan)
3. Pisang, roti, aqua lagi : 52.500
4. Tips buat pak supir biar senyum : 50.000
Total pengeluaran rame-rame: 2.800.000
Total patungan : 2.800.000 / 14 = 200.000
Tambahan ongkos gue:
Kereta ekonomi Kertajaya (Pasar Senen-Pasar Turi): 45.000
Kereta Bisnis Guamarang (Pasar Turi-Pasar Senen): 180.000

Ngerti kan kenapa gue bilang 'Long Road Trip' ?