Thursday, September 15, 2011

Argopuro

Cerita Pendakiannya
Saya terbangun karena merasa tenda tempat saya tidur terlalu hangat, bahkan lama-lama jadi panas. Ohh pantes! Ternyata tenda tetangga lagi masak dan posisi kompor persis ada di sebelah tenda kami, saya jelas kepanasan karena tidur paling pinggir. Ah, mungkin ini saatnya bangun dan mengintip Danau Taman Hidup. Saya tahu saya kesiangan tapi untuk kali ini saya memaklumi diri saya sendiri, karena apa? Karena perjalanan awal dari Bremi yang cukup bikin lutut kelojotan. Sebenarnya hal ini sudah diantisipasi oleh Dwie sebagai leader kali ini. Alasan jalur Bremi yang dipilih sebagai starting point adalah karena jaraknya yang cukup pendek dengan medan terjal. Benar saja! Ini terbukti dari peta topografi yang dengan mudah saya dapatkan. Kontur terlihat rapat dari ketinggian 1300-1968 dan hanya berjarak 1cm saja di atas peta berskala 1:100.000. Saya tahu Bremi-Danau Taman Hidup akan cukup berat dengan kontur yang speerti itu ditambah waktu pendakian di malam hari. Saat inilah mental dan sugesti positif yang harus lebih menguasai diri dan pikiran.
Bremi-Danau Taman Hidup: 7 jam (18.00-1.30)
Kami memulai perjalanan dari jam 6 sore, setelah Adzan Magrib, kemudian setelah do’a bersama berjalanlah kami. Saat itu hujan telah selesai mengguyur alhasil cuaca sangat gerah dan jaket pun saya tanggalkan di tengah perjalanan. Resiko dihisap darahnya oleh pacet pun sudah terpikir oleh saya. Banyak yang kami coba untuk mencegah dihisap darahnya oleh pacet. Harus diakui, lotion anti nyamuk sangat membantu loh (Sofell dan Zwitsal) apalagi yang spray, praktis. 45 menit pertama perjalanan yang dilalui masih perkebunan penduduk. Tanjakan belum terlalu terjal tapi cukup intensif dan kontinyu. Saya melirik GPS mencocokkan jalur yang sudah saya upload dari navigasi.net dengan jalur yang sedang kami lalui. Jalur kami berbeda walaupun arahnya menuju ke arah yang sama; Timur-Tenggara. Di depan saya Jefri (ah panggil saja Japra) berjalan cepat. Saya orang kedua dalam barisan, hanya karena saya yang memegang GPS. Stamina saya dan yang lain masih terkontrol, masih memungkinkan untuk isitrahat hanya 1 kali dalam satu jam. Mulai masuk jam ke-3 ego rasa letih tubuh mulai memberontak, kalau sebelumnya istirahat hanya satu kali dalam  satu jam, kali ini rasanya setiap setengah jam ada saja yang meminta untuk istirahat dan mengambil nafas barang sejenak. Saya bukannya nggak ingin istirahat. Tapi rasanya kekhawatiran saya terhadap jalur menuju DTH ini lebih besar ketimbang carrier saya yang timbangannya mencapai 14kg. 
Walaupun jalur yang kami lewati cukup jelas dan agak terbuka tapi sebenarnya ada jalur lain sejauh 500m di sebelah Selatan, saya yakin jalur ini nantinya akan menyatu dengan jalur yang ada dalam GPS tapi entah kenapa nggak sabar saja rasanya menghabiskan sisa jalur ini yang masih panjang tersisa. Itu salah satu efek psikis berjalan di hutan dengan membawa GPS dan peta, kita menjadi punya tujuan dengan perjalanan yang terarah dan terorientasi. Pelan-pelan tapi pasti rasa capek juga ikut menggerogoti saya. Biasanya kemana kaki Japra melangkah, saya pun akan mengejar dan sesekali berunding jika ada jalur yang bercabang. Jalur ini aslinya cukup rimbun tapi kami (saya dan Japra) selalu melihat bekas-bekas tebasan tumbuhan yang masih baru, kami pun lega dan berpikir pasti rombongan pendaki di depan kita yang membuka jalur (info dari Pos Polisi Krucil saat kita lapor ada 11 pendaki lain yang memulai pendakian sekitar jam 4). Stamina sudah setengah somplak, air minum pun menipis, demi melihat tanjakan yang tingginya minta ampun, saya pun teringat jalur ke Cikuray, lunglai rasanya badan apalagi peluh di badan yang nggak ada habisnya. Jalur ini memang belum seekstrim Cikuray yang tanjakannya sambung menyambung menjadi satu tanpa pernah memberi kesempatan untuk kaki merasakan landai tapi sekalinya tanjakan itu hadir..ohlala!  selain harus manjat, ternyata Japra pun merasa kita perlu tali / webing untuk memanjat tanjakan yang kita namakan dengan ‘tanjakan jackpot’. Tali pramuka saya dan webing Thony pun bertugas malam itu, membantu kami semua naik. Ini lebih dari tanjakan, melainkan seperti undakan tangga yang tingginya hampir sama dengan saya, 154cm tanpa ada pijakan apa-apa di bawahnya, sungguh sulit rasanya untuk orang yang berkaki pendek seperti saya. Nggak cuma satu ternyata tanjakan jackpot macam ini, ada beberapa yang mengikuti setelah ini. Terus terang cukup menguras tenaga. Batre senter di kepala saya terasa soak, terlihat dari cahayanya yang kian redup dan meredup, mau berhenti kok rasanya tanggung karena saya tau mengganti batere ini akan memakan waktu dan terlalu sering berhenti dan lama beristirahat sangat saya hindari. 
Untunglah Thony meminta perutnya diisi oleh makanan berat, nggak cukup hanya dengan biskuit dan air, mungkin karena maagnya kambuh juga. Beristirahatlah kami pada sebuah tanjakan yang melipir dan melepaskan carrier. Pertanyaan pertama yang saya dapat “masih jauh nggak Git?” pertanyaan yang pada akhirnya selalu saya jawab dengan diplomatis dan manis “sudah nggak terlalu jauh kok kalo lihat dari GPS”, mengerti kan dimana diplomatisnya ? Ambar dengan sigap mengeluarkan nasi bungkus yang tadi kami beli sebagai bekal, kemudian Depe mengeluarkan lauk kering tempe oreknya, sementara Japra mengeluarkan 1 set trangianya untuk memasak air, membuat teh manis hangat, sekedar untuk menghangatkan badan. Kesempatan baik untuk mengganti batere pikir saya. Yang lain selain sibuk mengisi dan mengganjal perut mereka pun tak kalah sibuk untuk memeriksa bagian badan yang sudah terpaceti alias terhisap darahnya oleh para pacetos. Saya teringat hal penting tiba-tiba. Ya ! Saya masih punya pisang goreng dan kue pia yang tadi siang saya beli di terminal Probolinggo, lumayan untuk mengganjal perut, sayang saya hanya beli sedikit, saya bagikan seadanya ke Firman, Ambar, dan Dwie. Lumayan lama beristirahat kami pun mulai berjalan lagi. Memompa semangat ke diri sendiri perlu energi besar dan berlomba-lomba dengan nafas yang kian tersengal-sengal. Saya mencoba nggak terlalu sering melirik GPS karena saya tahu jalur ini masih panjang walaupun saya tetap harus melihat GPS karena selalu saja ada yang bertanya “di ketinggian berapa kita sekarang Git?”. Danau Taman Hidup masih terasa jauh walaupun jalur ini setengahnya telah kami lewati. Sudah jam 11 malam, seharusnya saya sudah mengantuk, untungnya kali ini belum. 
Marking point yang saya nanti-nanti adalah Puncak Pal, entah apa itu artinya tapi saya dan Firman beranggapan ini pastilah puncak tertinggi di jalur ini kemudian jalan akan melandai menuju DTH. Entah untuk menghibur diri tapi saya rasa masuk akal juga setelah saya plot koordinatnya pada peta topo. Masalahnya Puncak Pal pun rasanya kok nggak sampai-sampai juga. Japra yang mulai nggak sabar akhirnya bertanya serius ke saya “berapa ratus meter lagi ke Puncak Pal Git?”. Sambil bisik-bisik saya menjawab “kalau jarak lurus aja masih 500 meter Jap”. Japra pun berteriak dan menyemangati yang lain “500 meter lagi nih..itung aja langkahnya..berarti tinggal lima ratus langkah lagi, ayooo dikit lagi tuh”. Benar saja, memang ternyata tidak lama kemudian, walaupun akhirnya lebih dari lima ratus langkah, kita sampai juga di ‘Puncak Pal’. Ada tanda terpasang bertuliskan Dataran Tertinggi Pegunungan Iyang Barat. Okey, jadi inilah alasan kenapa marking pointnya adalah Puncak Pal. Semua wajah terlihat sedikit cerah, kembali ada senyum, kembali ada tenaga untuk melanjutkan perjalanan yang kita tahu sudah tidak jauh lagi. Dan benar saja memang sudah tidak jauh lagi dan jalurnya pun melandai kemudian turun, tidak terlalu curam, cukup saya pikir untuk melemaskan lutut. 30 menit kemudian kami pun sampai di Danau Taman Hidup. Sudah ada 1 tenda terpasang disitu, setelah jauh sebelumnya kita juga melihat 2 tenda terpasang. 
Ahh lega rasanya.. kami begitu bersemangat ingin membuka tenda tepat di pinggir danau. Ternyata tanahnya basah dan berair sehingga nggak mungkin membuka tenda di tepi danau. Sejenak kami pun menyempatkan memandangi langit di atas danau pagi dini hari itu, jam 2. Subhanallah.. itu adalah salah satu langit malam terindah dalam hidup saya. Kaki langit seperti dekat sekali dengan kepala saya dengan ribuan bintang menjuntai yang ingin digapai. Kami pun terdiam, sunyi dan tak sadar berbicara sambil berbisik. Oh andai saya sepandai orang yang bisa membaca rasi bintang sehingga bisa saya namakan satu per satu mereka di langit sana. Bintang jatuh dimana-mana.. seperti dalam film tapi ini nyata tanpa efek. Seakan tak memberi kesempatan saya mengucapkan harapan saya yang sederhana; [Tuhan..izinkan saya mencium tanah dan kerikilmu di tiap-tiap puncak gunung yang saya daki...Amien] bintang telah jatuh lagi. Kagum, kagum, dan kagum.. terbayar sudah rasa letih pendakian sejak sore tadi. Kami mengucapkan selamat malam pada langit Danau Taman Hidup dan mendirikan tenda di sebelah tenda kuning, tetangga kami malam itu.
Disinilah saya pagi ini.. berada di pinggir danau, di balik punggungan. Di sebelah Timur sana terlihat gunung-gunung yang masuk ke dalam pegunungan Iyang. Itulah yang nanti akan kami lewati. Argopuro dan Rengganis memang masih cukup jauh untuk dilihat dan perjalanan panjang telah menanti kami hari ini untuk menuju Pos Cisentor, tempat bermalam kedua kami. Air dari danau ternyata cukup keruh tapi lumayanlah untuk memasak nasi.
Danau Taman Hidup-Aing Kenek: 15 jam (11.00-2.00)
Kami berangkat dari Danau sekitar jam 11, cukup siang memang, maklum dapur umumnya cuma 1, orangnya ada 12. Bersama rombongan lain yang tendanya di bawah kami berangkat bersama. Jalur dari Danau awalnya hanya 1 tapi ternyata banyak cabang ditemui walaupun mengarah ke hanya satu jalur tapi cukup membingungkan untuk orang yang tidak tahu arah mata angin dan tidak tahu mau berjalan ke arah mana. Belum sampai 1km kami dipertemukan dengan sumber air atau sungai kecil yang airnya jauh lebih bersih dari danau, kontan kami mengganti air kami yang tadinya sudah penuh berisi air danau yang sudah dimasak dengan air sungai ini. Jalur kali ini memang tidak seterjal jalur semalam. Kami berjalan mengikuti punggungan, melipir bukit demi bukit, kadang menanjak kadang bertemu pula dengan landaian dan kadang, walaupun jarang, turunan. Kami sempat berpapasan dengan 3 orang yang akan menuju Danau Taman Hidup, mereka sudah berjalan selama 7 jam dari Cisentor saat kita bertemu, sedangkan kita baru saja 3 jam berjalan. Hari sudah semakin sore, jam 5. Saat istirahat, saya, Depe, dan Firman Sholat Ashar sekalian menjamak Dzuhur. Kami bertayamum, dengan beralaskan jaket saya pun sujud. Kami sholat bergantian karena posisi yang  berada di bibir punggungan sehingga sholat pun harus bergantian. Mengarah ke Barat, sebelah kanan saya adalah lembah sedalam 30-50m. Matahari sore begitu hangat, langit jernih tanpa awan, membuat saya optimis hari kedua pendakian ini akan tanpa hujan. Terima kasih Gusti Allah, untuk tempat dimana saya berpijak sekarang. Melanjutkan perjalanan bukan hanya langkah kaki yang mulai berat, perut sudah mulai bernyanyi menyanyikan lagu kelaparan. Di depan lembah ini terlihat dataran, sebuah puncak, tempat yang sempurna untuk mengisi perut nanti. Kami turun ke lembah, meniti jalan setapak pelan-pelan, ah sayang sungainya kering, cukupkah air kami sampai nanti di Aing Kenek ? Entahlah. 
Selesai melewati sungai kering tadi, jalur langsung menukik tajam menuju dataran puncak yang tadi saya lihat. Kali ini jalurnya memotong kontur sama sekali nggak ada melipir. Ibarat mobil, harus panteng terus gigi 1, jangan berhenti, walaupun pelan harus tetap berjalan. Di depan saya ada Japra dan Cornel yang melangkah lebih cepat dari saya. Sedikit lagi, sedikit lagi, begitu ucap saya kepada kaki, punggung, paru-paru dan seluruh badan saya. Begitu sampai di dataran itu, saya taruh carrier pelan-pelan sambil merebahkan bahu di atasnya yang mulai terasa pegal. Satu per satu yang lain mulai datang dan melakukan hal yang sama, istirahat kemudian mengeluarkan logistik yang tadi siang telah kita masak. Ada nugget, telur dadar, nasi, mie goreng, ditambah lauk kering lainnya.
Sementara yang lain sibuk dengan makanan, saya membuka peta topo dan memplot lokasi sekarang (pake penggaris dan pensil, lengkap pake penghapus). Tanda medan yang paling jelas adalah sebuah puncak yang berada tepat di Selatan kami dan dataran tempat kami berada. Posisi Aing Kenek pun saya plot, masih cukup jauh. Jalurnya cukup jelas di peta, melipir di punggungan mengarah ke Utara, mengitari bukit tempat kami sekarang berada dulu kemudian kembali ke Selatan. Kalau kami beruntung dan cepat mungkin bisa jam 10 malam sampai di Aing Kenek, dari Aing Kenek ke Cisentor masih 2 jam lagi. Tapi apakah kami memiliki keberuntungan itu? Sekali lagi, entahlah. Selesai mengisi perut, kami pun bersiap kembali. Angin semakin kencang, pasti karena kita berada di tempat tinggi. Jaket dan sarung tangan sudah siap dipakai, begitu juga dengan kupluk tak lupa senter diperiksa. Jam 6 sore, begitu matahari tenggelam kami berjalan lagi menuju Utara. Jalur masih landai dan menurun. Di depan saya entah kenapa menjadi Cornel. Padahal terus terang saya lebih percaya diri kalau Japra di depan saya, ah mungkin karena sudah terbiasa begitu. Betul saja.. belum berapa lama berjalan, Cornell merasa nggak yakin ini adalah jalur yang benar, sementara saya sebaliknya. Sedikit keras kepala, saya meminta Cornell untuk menyibak sedikit tanaman yang menutupi jalur dan mencoba berpijak di sana. “Git.. ini jurang.” Agak sedikit ragu dia bilang ke saya sambil mencoba menapakkan kaki disitu. “Ah, masak sih, coba gue liat.” Masih dengan keras kepala saya nggak terlalu percaya dengan Cornel (Maaf, ini sifat bawaan dari lahir). Memang benar ternyata, tanah yang coba dipijak Cornell tadi terlalu gembur untuk sebuah jalan setapak. Saya lantas meminta semua naik kembali secara bergantian dan minta tolong ke Japra untuk jadi frontman yang buka jalur. Setelah dicoba dan yakin arah jalur ini, kami pun berjalan kembali. Sempet lirik jam, udah jam 8 aja sedangkan jalan masih jauh, untunglah air minum masih cukup. Lembah yang baru saja kami lewati sungainya kering, berarti sumber air berikutnya adalah Aing Kenek dan mungkin sekitar tengah malam kami baru sampai.
Jalur masih menuju ke arah Utara sedangkan posisi Aing Kenek berada di Tenggara dari tempat saya berdiri. Disinilah akhirnya kami menjadi korban keganasan tanaman Djancuk (artinya kasar kalo dalam bahasa jawa timur) atau tanaman Jelatang, yang jelas penampilan fisiknya mengerikan. Bayangin aja..daunnya berduri, di bawah daun berduri, sampai ke batang pun ada durinya dan orang yang pertama kali kena sengatan durinya ya Japra lah, itu tujuan dia jadi frontman; ‘kelinci percobaan’. Satu yang paling saya takutkan, yaitu hujan. Mendongak menatap langit malam yang penuh bintang dan cerah rasanya mustahil hujan akan mampir barang sejenak, pikir saya optimis sambil melanjutkan jalan. Malam itu dinginnya luar biasa nggak seperti malam pertama pendakian ke DTH yang sangat gerah. Mungkin karena baju kita pun basah terkena embun dari rimbunnya tanaman di kana dan kiri kita. Kalau malam pertama jalurnya cukup terbuka, sekarang enggak, agak rimbun sehingga sering kita harus bersinggungan dengan tanaman-tanaman itu, makanya basah, dan alhasil badan saya terutama kaki mulai kedinginan. Ouwh.. nggak boleh berhenti, harus terus memompa nafas dan bergerak supaya tetep hangat. Walaupun begitu, saya dan Depe yang ada di belakang tetep rapet, begitu juga Depe dengan Ambar yang ada di belakangnya. Begitu seterusnya perjalanan kami, berhenti hanya untuk menunggu teman lain di belakang, kita nggak mau ada yang jauh tertinggal. So, nggak masalah waktu yang kita tempuh lebih panjang, asalkan bisa jalan sama-sama. Saya tahu sudah hampir tengah malam dan tanda-tanda ‘hampir sampe’ pun belum terlihat, masih sunyi, belum ada gemericik air sungai, artinya perjalan sampai Cisentor mungkin harus melihat kondisi fisik semuanya. Jalur nggak cuma makin rapet dan rimbun tapi makin banyak aja halang rintangnya, pohon melintang, mana jalurnya cuma muat 1 kaki, sebelah kanan jurang dan sebelah kiri kadang tanaman djancuk. Nggak bisa meleng dan nggak bisa pegangan ke tanaman. Steady, steady, steady, keep walking, walking, and walking. Cukup senang ketika ketemu satu atau dua pita warna oranye yang diiket di pohon, pertanda jalurnya cocok dengan yang ada di GPS walaupun sempet beberapa puluh meter kita salah jalan.
 Saat itu jalur sudah menuju ke Selatan, saya dan Japra harap-harap cemas berjalan sambil mencari jalur yang arah ke Timur-Tenggara, karena di jalur itulah nanti posisi Aing Kenek berada, tepat di pinggir punggungan. Sempat saya lihat pita oranye sebelum kita akhirnya salah jalan, tapi Japra meyakinkan saya kalo itu terlalu tertutup untuk dilewati akhirnya pun saya tetap mengikuti dia. Saya sedikit memaksa untuk kembali ketika sadar kita berjalan terus ke Selatan dan itu adalah salah. Setengah kesal, setengah ngantuk, setengah kedinginan saya berjalan di belakang rombongan, karena yang lain satu per satu kembali ke jalur dimana tadi pita oranye terlihat, dan benar saja, jalurnya memang terlihat rimbun dai bawah, tapi begitu dicoba sebenernya nggak terlalu rimbun sekali, yah sama saja dengan jalur setapak yang sebelumnya. Di tempat yang agak landai kamipun berhenti untuk beristirahat, kali ini istirahatnya agak lama karena mau masak air untuk menghangatkan badan. Sudah jam 1 pagi dan kami nyampe Aing Kenek saja pun belum, saat itu seperti pikiran kami sama ‘buka tendanya di Aing Kenek sajalah’ rasanya untuk melanjutkan perjalanan 2 jam lagi ke Cisentor badan udah nggak kuat. Terlihat banget kalo hampir semua fisiknya drop, termasuk saya. Tadinya sih nggak apa-apa tapi mungkin karena terlalu lama diam dan nggak bergerak, alhasil kedinginan, tanpa sadar saya pun ketiduran dan akhirnya terbangun karena mengigau. Menyadari itu bukan pertanda bagus, Japra buru-buru packing barang dan juga mengganti celananya yang sudah lepek abis dengan celana rain coat, setelah itu jalan duluan, dan saya pun mengikuti di belakangnya. Dari sini, jarak lurus ke Aing Kenek masih 500m lagi. Gerutuan dan keluhan pun sedikit terdengar dari teman-teman yang mungkin bosan dengan jarak ke tujuan yang rasanya nggak bertambah dekat dari tadi, yah maklum aja, mental udah mulai sedikit berasa diuji nih kalo denger ‘satuan jarak’ 500m berasa jauhnya di ujung dunia emang kalo kondisinya lagi seperti itu. Akhirnya, hampir jam 2 pagi, bunyi air sungai itu terdengar, wuhuu..langkah main dipercepat karena saya dan semua yakin itu adalah Aing Kenek. Benar saja, jalur menuruni punggungan ini adalah untuk menyebrang ke punggungan berikutnya. Suara aliran sungai di lembah ini ternyata yang dari kita dengar, beberapa teman mengisi air dahulu sebelum kembali naik ke punggungan. Saya dan Japra agak ragu kalau tempat ini bisa dijadikan tempat untuk tidur, tapi itu sebelum kami melihat dataran yang sempit yang terletak sekitar 20-30m dari sungai tadi. Yah cukuplah untuk membangun 2 tenda. Seperti tidak perlu didiskusikan lagi, rencana bermalam di Cisentor dirubah menjadi di Aing Kenek karena semua sudah pada kecapekan. Saya nggak begitu bernapsu untuk makan waktu Depe dan Ambar dengan semangat mengeluarkan kompor, saya lebih bernapsu dengan baju saya yang kering, matras, sleeping bag, dan tenda. Sempat mendengar Dwie meminta semua untuk bangun pagi esok hari (come on Dwie.. it’s already ‘besok’-jam 2.40 pagi ketika saya siap tidur) untuk melanjutkan perjalan ke Cisentor agar sampai di puncak nggak terlalu sore. Entahlah si Dwie ngomong apalagi karena saya sudah terhipnotis oleh rasa kantuk dan tidur pulas.
Aing Kenek-Cisentor: 2.5 jam (10.30-13.00)
 Terbangun jam 5.30, saya langsung cepet-cepet tidur lagi, seakan ga terima sama kenyataan kalo saya memang sudah bangun. Satu hal yang bikin saya cepat bangun adalah niat untuk menjemur celana. Nggak nyangka lapak jemuran udah penuh sama kaos kaki, celana, sarung tangan, bahkan sepatu!. Masak sarapan pagi menurut saya menjadi hal paling rempong sedunia kali ini, entah kenapa ada  orang berpikir untuk makan banyak tanpa mau bantuin masak. Understand what i mean ? Good! Setelah 12 perut ini kenyang, kemudian packing, kami pun siap jalan lagi, oh damn! Sudah hampir jam 11 saja. Perjalanan ke Cisentor menurut catper orang adalah 2 jam, well saatnya kita membuktikan kali ini. Jalur cukup jelas, nggak terlalu terjal kadang landai, tanaman Jelatang sesekali masih keliatan, membuat saya meminta Arfa yang bawa golok untuk jalan di depan saya dan sedikit menebas. Sayapun akhirnya kesetrum duri-duri Jelatang itu walaupun sudah pake sarung tangan. Untuk mencabut durinya, oleskan getahnya di tempat duri menancap, langsung ilang.

Pada marking point ‘Taman Kering’ di GPS saya melihat savana kecil dengan rumput tinggi berwarna hijau pucat nggak lupa bunga-bunga warna ungu itu banyak bekas pohon terbakar dan terlihat banyak jalur yang sepertinya muter-muter. Pantas saja kenapa dibilang Taman Kering, tempat ini memang seperti taman tapi kering dan sedikit gersang mungkin akibat banyak pohon yang katanya sering terjadi kebakaran. Jalan makin dipercepat karena memang medannya mudah dilalui. Sampailah kita di Cisentor sekitar jam 1 siang. Buru-buru kami mengisi minum di sungai yang bersih dan cukup bagus alirannya. Kami makan siang seadanya, mie goreng dan lauk kering yang tadi pagi sudah dimasak lebih dulu. Rombongan yang berangkat kemaren dari DTH juga akan muncak rupanya dan mereka juga sedang siap-siap. Cisentor cukup ramai siang itu, ada rombonganlain juga yang naik Baderan dan sedang muncak. Setelah isi air, makan, sholat, cek senter, dan menyiapkan bekal makanan untuk muncak kami pun berangkat.
Cisentor-Puncak Rengganis: 3 jam (14.00-16.45)
                Mulai ada patok-patok penanda jarak terlihat sepanjang Cisentor ke Rengganis. Cisentor ini adalah pertigaan dari jalur Bremi dan Baderan menuju puncak (Rengganis dan Argopuro). Jalurnya cukup jelas, jalan setapak dan melipir bukit. Hampir kita salah arah tapi untunglah palang penanda ‘bukan jalur untuk dilewati’ yang berupa kayu disilang cukup dimengerti sehingga kita memutuskan untuk tidak lewat situ. Secara umum jalur ini mengarah ke Utara lalu tepat di Rawa Embik jalur akan mengarah ke Selatan-Baratdaya. Sampai di Rawa Embik sudah jam 15.30 dan bertemu rombongan para ranger Raung yang sudah selesai muncak. “1 jam lagi” begitu kata mereka menyemangati saya, Depe, dan Japra yang kebetulan berada paling depan. Sebenernya pengen lama-lama di Rawa Embik, padang rumputnya yang terletak pada tanah lapang dan terbuka kayaknya enak buat leyeh-leyeh sebentar. Demi melihat jam sudah jam 4 lewat, ah mendingan langsung jalan lagi, cukup lah foto-foto sebentar. Setelah Rawa Embik jalurnya lebih mudah lagi. Agak nanjak dan itu tanjakan yang lumayan intens ketika sampai di jalur batu. Saya dan Depe kehilangan Japra yang ternyata suka lupa nge-rem kalo lagi jalan. Sementara 9 orang lainnya berada cukup jauh dari Depe. “Japraaaaaaaaaaaaaaaa...” saya dan Depe manggil-manggil. Yang punya nama menyahut, terdengar seperti dekat dan kami pun mengejar dia. Hampir jam 4.30, kami memandang langit dengan cemas bukan karena mendung tapi karena takut tak sempat bertemu dengan matahari terbenam milik Rengganis. Atas motivasi Japra, saya dan Depe pun terus berjalan, gak ngebut tapi gak nggak berhenti juga karena jarak lurus menuju Rengganis masih 500m lagi di depan sana. Sampailah kami pada pertigaan dimana jalurnya bercabang. Jalur menuju Rengganis mengarah ke Baratdaya sedangkan jalur ke Puncak Agopuro keBaratlaut. Kami sempat menunggu dan beristirahat di pertigaan ini dimana merupakan padang rumput yang lapang dan luas. Ada pohon-pohon edelweiss dimana-mana. Bukan bermaksud jahat tapi kami merasa perlu berjalan lagi untuk sampai Rengganis tepat waktu mengingat jam sudah 16.40, sementara Rengganis masih sekitar 350m lagi dari percabangan jalur. Sudah makin deket puncak jalurny tetep aja nanjak sampai terlihat Kawah Rengganis baru saya bisa berhenti sebentar mengambil nafas. Di kejauhan, di Puncak Rengganis terlihat rombongan teman pendaki lain yang tadi bareng dari Cisentor sudah sampai duluan. Saya. Japra, dan Depe terus memacu langkah menyusul mereka. Langit masih terang, semoga saja teman-teman lainnya masih semangat untuk muncak. Khawatir kalau para pembawa kamera nyampenya telat, saya, Depe, dan Japra inisiatif memberanikan diri kenalan dengan salah satu pendaki yang terlihat memegang SLR. Namanya Geri, setelah kenalan langsung saya todong; “fotoin dong”. Nggak lupa sambil nyengir lebar biar permintaannya dikabulkan
Puncak Rengganis
Kala matahari terbenam..
Memandang Puncak Argopuro di sebrang sana
Ah, cukupkan saja pendakian kali ini sampai ke Puncak Rengganis. Walaupun hanya sempat melambai pada Puncak Argopuro yang terletak di sebelah Baratlaut dari tempat kita bediri, tak menyurutkan hati untuk tetap menikmati sore ini lengkap dengan matahari terbenamnya di Puncak Rengganis. Yang terpenting adalah; kami semua mencapai tujuan ke Puncak Rengganis di elevasi 3000mdpl yang berbeda 88m lebih rendah dari Puncak Argopuro. Di Puncak Rengganis banyak terlihat persembahan dari orang-orang yang melakukan ritual keyakinan. Hmmm... menarik, puncak gunung ternyata dapat memberikan day tarik berbeda-beda untuk tiap orang.
Setelah matahari benar-benar tenggelam dan gelap kami pun turun. Perjuangan untuk turun sampai ke Cisentor memerlukan perjuangan dua kali lipat dari saat kita naik ke puncak. Persediaan makanan yang sudah habis ditambah tenaga yang sudah terkuras habis kembali membuat drop fisik beberapa teman. Rombongan pun dipecah; Japra dan Nina turun lebih dulu untuk masak karena mereka masih memungkinkan untuk turun dengan berlari. Rombongan kedua; Firman, Arfa, Miranda, Ambar, Cornell, dan Pras. Rombongan ini bisa berjalan lebih cepat dibandingkan rombongan saya yang terdiri dari Thony, Depe, dan Dwie. Iya, rombongan saya adalah rombongan yang berjalan paling belakang karena dengkulnya Thony masih kram dan nggak bisa ditekuk (dan gue baru liat dia jalan, sh*t man! Parah banget, dengkulnya bener-bener nggak nekuk waktu dia jalan-aseli! Tapi gue salut Thon sama semangat lo). Lalu ada Dwie yang sepertinya maagnya kambuh ditambah masuk angin dan nggak enak badan. Jadilah kami (saya dan Depe) menjadi suster siaga saat itu (yuk mari! Yang biasanya jadi suster ngesot kali ini naik pangkat) menjaga Thony dan Dwie. Perjalanan dirasa sangat pelan dan perlahan saya mulai mengantuk. Selain mengantuk, saya pun jalan paling belakang. Walaupun udah berniat gak mau nengok-nengok ke belakang, entah kenapa, secara nggak sadar perasaan saya selalu ingin nengok ke belakang. Emang nggak ada yang aneh-aneh sih tapi saya merasa seperti sedang ditonton oleh entah siapa di sebalah kanan saya, di sepanjang jalur. Rasa ngantuk mendadak hilang saat kita istirahat di Rawa Embik, Dwie seperti berhalusinasi. Dia bilang ke kita bahwa di depannya dia melihat danau (oh damn! Ni anak udah setengah nggak sadar kayaknya). Depe buru-buru membalur seluruh tubuh Dwie (ups! Gak seluruh tubuh deng, yang memungkinkan untuk dijangkau saja :D) terutama punggung, dada, muka (entah kenapa kok muka ya?! Si Dwie juga ngamuk-ngamuk tuh ke Depe), yah pokoknya supaya hangat lah (Depe..suka pura-pura deh, kan bisa dipeluk biar anget xD).  Saya mendesak supaya kita jangan lama-lama istirahat karena lambat laun pasti dingin menyergap. Kembali berjalan, posisi dirubah menjadi Thony, Depe (untuk menjaga Dwie dari depan), Dwie, dan saya tetep di belakang. Saat turunan mulai curam dan licin kadang saya suka menunggu Dwie sampai melewati turunan itu dulu pelan-pelan sehingga saya bisa bebas turun dengan berlari. Kadang saya sampai menunggu jauh di belakang Dwie sebelum berlari turun. Pertama-tama nggak ada yang aneh, lama kelamaan setiap saya berlari turun saya seperti mendengar langkah kaki yang juga berlari di belakang saya. Pertama saya pikir itu adalah gema langkah kaki saya yang bunyi sedikit berderap. Ah.. bergema? Masak sih? Tapi kan bunyi langkah saya tidak terlalu kencang, kenapa ada gemanya ? Cuekin sajalah. Tapi lama-lama bunyi langkah di belakang saya speperti bertambah banyak dan saya merasa aneh. Ah nggak mau pikir panjang, saya pun tidak lagi berdiri jauh-jauh di belakang Dwie, kemanapun langkah kaki Dwie disitulah kaki saya juga melangkah, pokoknya nempel terus sama punggungnya Dwie. Sperti telah diperkirakan, waktu perjalan turun menjdai molor dua kalinya saat naik ke puncak. Beruntung, begitu sampai di Cisentor semua tenda telah berdiri dan makanan telah siap. Kedua pasien (baca: Thony dan Dwie) sudah saya serah terima kepada parner setendanya dan bu dokter alias Miranda. Lalu saya? Yah tidur lah, capek tau!
Cisentor-Cikasur: 3 jam (10.00-13.00)
                Sekiranya, Cikasur adalah tempat dimana kami seharusnya menginap semalam tapi berhubung lagi-lagi kondisi fisik yang sulit untuk dipaksakan, akhirnya Cisentor menjadi pilihan tepat untuk menginap. Pagi hari tim dapur sibuk bergantian personil untuk menyiapkan makan pagi dan bekal makan siang. Shift pertama adalah saya dan Ambar, menggantikan Nina yang sudah bekerja saat shift malam bersama Japra. Menu saya dan Ambar adalah nasi goreng telor ceplok. Seperti biasa, seperti hari yang sudah-sudah ada orang yang setia menunggu masakan kami jadi; Cornell. Setelah bersama selama 3 hari tanpa sadar saya rasa setiap orang mulai bisa membaca kebiasaan. Cornell selalu ada di antrian paling depan dan nggak bisa jauh-jauh dari kompor, nggak lain karena udah kelaperan.
                Setelah siap dengan sarapan yang agak rempong dan mengatur logistik yang tersisa. Kita mulai jalan lagi. Tanjakan langsung menukik tajam menuju punggungan berikutnya yang tepat berada di depan sungai. Pagi ini rasanya semua sudah kembali sehat dan siap tempur untuk ke Cikasur. Jalur naik-naik tanjakan masih lumayan bikin ngos-ngosan walaupun nggak panjang-panjang banget. Disinilah baru jalur cukup jelas dan terbuka dengan ditandai patok-patok yang sepertinya masih menggunakan satuan HM. Tanaman Jelatang pun masih eksis di awal-awal jalur, membuat saya kembali memanggil Arfa untuk berada di depan sebagai tukang tebas, nggak tanggung-tanggung, kadang tanaman itu menutup badan jalan dan setinggi hampir sampai bahu. Di tengah perjalanan kami kembali bertemu rombongan lain dari daerah Jawa Timur (Pasuruan dansekitarnya) yang akan menuju Cisentor. Barter antara gula dan garam sempat kami lakukan sekalian berkenalan (lumayan, siapa tau nanti kalo saya mau ke Raung bisa minta temenin). Menuju Cikasur pemandangannnya kebanyakan adalah padang rumput kering dengan bunga-bunga ungu. Jam 1 lewat tepat pada patok HM 94, sampailah kami di Cikasur. Dari jauh pemandangan Cikasur sudah terlihat karena memang merupakan bekas lapangan terbang yang dibangun oleh Belanda.
                Suasananya hening dan sepi di Cikasur, saat itu hanya ada rombongan kita. Di pos yang ada atapnya kami pun berteduh. Membuka bekal makan siang kami; nasi, nugget, dendeng, daaaan tempe orek. Tak lama rombongan lain yang akan menuju Cisentor pun sedikit demi sedikit berdatangan, lama-lama pun jadi ramai Pos Cikasur ini dengan adanya kami. Agak lama berada disini karena Dwie perlu istirahat dan tidur siang (pilihan yang diambil karena nggak mau disuntik atau makan nasi,haha!). Tak lama robongan mas-mas motor trail tiba-tiba aja berdatangan dan membuat kami terheran-heran karena jalur baderan-Cikasur ternyata bisa dilewati motor (yang artinya jalur ini cukup lebar dan terbuka-dan memang benar). Setelah puas istirahat, ambil air di Sungai Qolbu, sholat, makan, ngobrol sama pendak-pendaki lain kami pun melanjutkan kembali perjalanan kami. Jam 4 sore kami beranjak dari pos itu, masih ditambah dengan foto-foto dan foto-foto lagi.
                Patok-patok HM masih konsisten memberi kami petunjuk, berkurang satu demi satu. Banyak yang memberitahu bahwa Pos Mata Air 1 berada di HM 0 tapi ada juga yang memberitahu kalo posisi Pos Mata Air 1 ada di HM 62. Sementara di GPS saya nggak ada tuhmarking point HM 0, adanya ‘Pos Mata Air 1’ jadi saya kurang tahu pasti tentang jarak pos ini. Tapi kalau dihitung-hitung dari jarak GPS dibandingkan dengan angka pada patok kok nggak sama ya. Feeling saya sih, si pos ini berada lebih jauh dari informasi yang kita dapat. Well, mau jauh mau enggak, kaki ini tetap harus melangkah, jalan masih panjang. Lagi-lagi berdasarkan ‘katanya’ dari Cikasur memerlukan 6 jam untuk jalan ke Pos Mata Air 1 dan 6 jam lagi dari Pos Mata Air 1 ke Baderan kalau mau langsung dilanjutkan. Jalur menanjak dikelilingi padang rumput di kanan kiri membuat kita nggak bisa begitu saja melewati ini. Pasti ada saja berhenti sebentar untuk berfoto. Seingat saya ada dua savana yang kita lewati, sebelum dan sesudah jalur di dalam hutan. HM 68 yang saya ingat betul adalah letak alun-alun kecil setelah hutan. Kemudian jalur terus menurun dan kemudian kembali berbukit dan nanjak melewati 9 bukit penyesalan. Hari sudah gelap, senter-senter kembali menyala, untunglah bulan cukup terang dan langit cerah. Hanya saja di akhir perjalanan menuju Pos Mata Air 1 sudah banyak dengkul yang menjadi korban.
                Mengenai posisi patok HM tadi, benar saja, ekspektasi kami terlalu tinggi, HM 62 itu ternyata bukanlah posisi Pos Mata Air, kembali kami berharap bahwa posisi pos ini ada pada HM 0. Harap-harap cemas ketika patok HM sudah menunjukkan HM 4, lalu patok terputus disini, nggak ada lagi patok berikutnya. Kalau memang benar posisinya ada di HM 0 seharusnya jaraknya 400m saja dari HM 4 tadi, tapi..? belum sampai juga. Barulah kali ini saya berani percaya pada marking point yang ada pada GPS saya dimana posisi Pos Mata Air 1 berada. Setelah yakin betul baru saya memberitahu ke Dwie dan yang lain bahwa Pos Mata Air 1 masih agak jauh. Jalan makin turun dan licin, sedikit demi sedikit saya berlari untuk menghindari sakit pada dengkul. Depe sudah terlihat kuyu di belakang saya, bahunya nyeri sampai ke dada katanya. Belum lagi dengkul Thony yang kembali kambuh karena ketarik. Jam 11 malam, akhirnya kami pun sampai di Pos Mata Air 1. Perjalanan agaknya kembali nggak mungkin diteruskan langsung sampai ke Baderan, kita harus buka tenda dan istirahat disini dan melanjutkan perjalanan turun besok pagi. Tapi saya, Thony, Cornell, dan Firman berencana turun lebih pagi, khawatir kalau temen-temen yang lain masih kenyenyakan tidur. Rencana pun dibuat, kami akan turun pukul 5 pagi, pas, on time, nggak pake ngaret. Ini karena saya harus kembali ke Jakarta hari Jum’at tapi belum punya tiket, begitu juga dengan Cornell dan Thony, sedangkan Firman harus ngejar pesawat terakhir jam 9 malam
                Jam 4 pagi. Saya bangun dengan sigap karena nggak mau telat. Semua udah dikemas tinggal sleeping bag dan matras, bahkan semalam saya tidur dengan baju yang akan dipakai turun, weleh! Bergegas saya mendekati tendanya Firman dan membangunkan penghuni tenda kuning ini. Say siap lebih cepat dengan mencukupkan diri hanya mengisi perut dengan air putih. Jam 5 pas, Firman pun siap tapi tidak dengan Thony dan Cornell. Setelah memberi jeda waktu 15 menit rupanya mereka belum siap juga, terpaksa saya dan Firman harus ‘tega’ meninggalkan Thony dan Cornell. Pukul 5.18, setelah berpamitan dengan yang lain, kami pun berlari turun. Iya, lari! Menurut referensi orang-orang perjalanan Pos Mata Air 1 ke baderan butuh waktu 5-6 jam. Artinya kalau kita percaya dengan itu, kita baru sampai di Baderan hampir tengah hari. Hmppff! Mencoba nggak percaya dengan referensi itu, saya dan Firman di belakang berlari terus. Jalur cukup bersahabat, turunan terus, agak licin memang dan ini dikarenakan motor-motor itu seenaknya lewat sini. Setengahjam berlari, kita istirahat. Lepas jaket karena gerah ternyata. Udara masih segar dan kondisi masih fit. Istirahat Cuma 5 menit lanjut lari lagi. Begitulah perjalanan pulang kami.. nggak banyak obrolan dan nggak banyak berhenti. Pokoknya selama masih ada turunan kami terus berlari kalau jalur melandai, anggaplah sebagai bonus, kami berjala cepat-cepat. Firman hanya nggak bisa nggak ngeluarin kameranya ketika kita sampai di cabang jalan untuk jalan setapak dan jalan motor. Dari tempat itu kami melihat puncak sejati Gunung Raung dengan pemandangan lain adalah laut utara Pulau Jawa. Bentang alam yang unik pikir saya. Kenampakan triangular facets pada punggung-punggung pegunungan, meandersungai yang seperti membelah lembah, ah perfecto!. Lukisan tangan sang pencipta itu emang nggak pernah sama ya satu dengan yang lainnya.
                Laju lari kami stabil, tetep kenceng tapi sayang itu hanya sampai di perkebunan penduduk. Batu-batu tajam yang mencuat-cuat itu akhirnya melambatkan langkah kaki kami. Untung jalurnya landai. Sambil meringis kesakitan saya dan Firman berjalan pelan-pelan, yah lumayan deh buat istirahat. Seharusnya sudah nggak terlalu jauh lagi Pos Baderan tapi mungkin karena kita aja yang jalannya sedikit lambat, rasanya belum nyampe-nyampe juga. Di sepanjang jalan kita banyak ketemu penduduk yang sepertinya ada hajatan. Mereka berdandan dengan pakaian rapi dan membawa makanan, benar saja, ternyata ada acara ziarah dalam rangka ‘syawalan’, malah sempet ditawarin ikutan segala lagi sama bapak-bapak. Tadinya target saya dan Firman adalah sampai di Baderan sekitar jam 9 tapi setelah melihat kesungguhan kami berdua (halah..halah..bahasa apa ini) dalam berlari, kami memprediksi sekitar jam 8 kami sudah sampai di baderan. Eh bener aja, tiba-tiba udah keliatan jalan raya Baderan-Besuki, lirik-lirik jam: 7.40!! Wew! 2 jam 15 menit euy! Akhirnya kita berhasil mendobrak referensi orang-orang itu yang bilang 5 jam (Ah! Ini karena ada yang dikejar aja, kalo nggak ada, gue juga males kali lari-larian di gunung ;))
                Kita istirahat di warung, nggak jauh dari pertigaan jalur yang kami baru lewati. Firman makan rawon, saya makan indomie. Terhibur banget deh di warung yang sederhana ini. Ibu si empunya warung ramah bukan main sama saya dan Firman. Tahu kita baru turun gunung, beliau menawarkan keramahan dalam hal makanan, kamar mandi, dan info tentang ongkos ojek ke Besuki. Sekitar 1 jam kami bersih-bersih sekalian nunggu angkot yang ke Besuki. Nggak lama, si angkot nyamperin kita di warung dengan isi angkot yang hampir penuh yang nggak lain adalah rombongan pendaki yang waktu di Cisentor nenda bareng dan sempet saya todong untuk motoin saya dan Depe waktu di Puncak (Geri). Fyuh ! Lucky us.. Nggak jadi naik ojek deh sampai Besuki (kalau ojek ongkosnya 30.000). Baderan ke besuki kira-kira 1 jam dan merogoh 10.000 saja untuk ongkosnya. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan yang keren, hijaunya asik banget di mata. Di angkot sebenernya pengen tidur tapi waktu masuk ibu-ibu yang mengangkut sekeranjang ikan asin, entah kenapa hidung sama mata tiba-tiba kontradiktif. Setelah ngobrol-ngobrol ternyata Geri dan beberapa temannya pulang ke Jakarta naik kereta bisnis juga dan belum pegang tiket, lumayan deh, saya bisa bareng, itung-itung biar nggak BT di kereta sendirian. Di Besuki, rombongan Geri makan dulu di terminal, sementara saya dan Firman menunggu di Indomaret sambil kalap membeli minuman dingin. Rasanya udah lama bener nggak minum minuman dingin. Lama nunggu depan Indomaret, saya dan Firman harap-harap cemas bisa sampai di Surabaya tepat waktu. Akhirnya kami memutuskan naik bis duluan ke Surabaya, meninggalkan Geri dan kawan-kawan.
                Hampir tengah hari kami meninggalkan Besuki. Alhamdulillah perjalanan lancar tanpa macet yang berarti di Sidoarjo. Kami pun sampai di Bungur Asih sekitar jam 2 lewat. Eh, dasar emang jodoh, ketemu lagi sama Geri dan rombongan di Bungur Asih. Niat mau makan di terminal sama Firman jadi nggak jadi karena saya mau bareng dengan Geri ke Pasar Turi. Saya dan Firman berpisah di Bungur Asih, dia melanjutkan dengan Damri ke airport dan saya naik bis kota ke Pasar Turi. Agak tenang jalan bersama Geri dan teman-temannya karena sebagian dari mereka adalah anak Surabaya (Ringga dan adiknya). Perlu 1 jam ternyata dari Bungur Asih ke Pasar Turi (untung tadi nggak jadi naik ojek). Sampai di Pasar Turi, kereta Kertajaya baru saja berangkat. Yakub dan Rudi (teman Geri yang lain yang juga pulang ke Jakarta) agak sedikit kecewa karena ternyata nggak ada kereta ekonomi tambahan, sehingga pilihannya hanya Gumarang dengan tiket berdiri dan dihargai 220.000. Saya, geri, dan Mame langsung beli tiket, sementara Yakub dan 2 lainnya masih mikir-mikir.
                Pukul 17.30. Gumarang sudah siap sedia di jalur 2 hanya tinggal menunggu aba-aba pak masinis untuk bergerak. Dan disinilah saya, di depan toilet kamar mandi, duduk manis beralaskan koran dari Geri, siap melanjutkan perjalanan Surabaya-Jakarta. Ditemani Geri dan Mame perjalanan jadi nggak bosan. Hah.. pendakian yang mengesankan, teman-teman yang hangat, dan pemandangan yang super menakjubkan. Alhamdulillah..
Ongkos dan saweran
Lion Air Jkt-Sub: 350.000
Taksi kijang Airport-Bungur asih: 15.000 (sama kayak Damri, tapi ga pake  nunggu)
Bis Sub-Probolinggo: 20.000 
Carter colt L300 dari terminal Probolinggo ke Bremi (waduh harus tanya ibu bendahara nih) 
Baderan-Besuki: 10.000 (ni angkot lama banget nunggu penuhnya)
kalo nggak sabar dan mau naik ojek ongkosnya 30.000
Besuki-Sub: 22.000
Bis kota Bungur Asih-Pasar Turi: 5.000
Kereta Bisnis Gumarang jam 17.30: 220.000 (tiket berdiri / duduk harganya sama)
Kalo mau naik ekonomi Kertajaya berangkat dari Ps. Turi jam 15.30, harga 45.000 (beli di loket pas hari H)
Terima kasih kepada pelengkap perjalanan (orang-orangnya):
Ambar: Huah! Akhirnya jalan bareng sama anak ini setelah lama kenal di volunteernya KHI
Arfa: Baru kenal di trip ini. Makasih ya golok dan videonya. Salam sempak yo Mang Cek!
Cornell: Yuhuuu..si engkong, sip dah, ketemu lagi kita.. ;)
Depe: Nggak pernah bosen jalan sama dia, rameeee! Ada aja bahan obrolan sama dia
Dwie Bayu: Gembongnya trip kali ini. Mafia perjalanan (hoho..)
Dwie Pras: Baru kenal di trip ini
Firman: We had a great trip to Tegal Panjang and Cikuray before (bring him wherever you go, good photos guaranteed)
Japra: Baru kenal di trip ini. Thanks for being our frontman, dude!
Miranda: Baru kenal tapi kayak udah kenal lama (ah sok kenal lo Git!)
Nina: Baru kenal juga tapi udah cela-celaan :D
Thony: Setelah Mandalawangi dan Argopuro, kemana lagi kita Thon?

Geri, Yakub, Mame, Rudi dan rombongan pendaki-pendaki lainnya yang (maaf) saya lupa namanya

GPS 60csx overlay onto google earh (our track is long enough indeed)
 Photo by Firmansyah


Danau Taman Hidup





Candid


Water from creek



 Trees touch the sky

No comments:

Post a Comment