Friday, September 21, 2012

Anak Krakatau


   Hari yang dinantikan dateng juga, 25 Februari 2010; long weekend dan perjalanan ke Sebuku-Sebesi-Anak Krakatau. Gue berangkat dari kosan sekitar jam 7.30 malem. Meeting point gue bareng Utine, Rendy, Nikka, Joko, Elvi adalah di samping tol Kb. Jeruk jam 9 malem. Mengingat malam itu amat sangat macet dimana-mana dan Transjakarta juga kena imbasnya, jadilah gue naik ojek langganan dari kosan ke halte Transjakarta Kb. Jeruk. Lumayan jauh ternyata tapi gue cukup mengeluarkan 25.000 aja utk ojek . Dari halte ini gue lanjut naik angkot carry warna merah, B03, ternyata dari halte itu udah nggak terlalu jauh lagi samping tol Kb. Jeruk, cukup 2.000. Nggak lama-lama nunggu kok, abis itu Utine (yang bawaannya paling banyak) dan Rendy dateng pake taxi. Abis itu Joko, Elvi, dan Nikka (yang masih lengkap dengan baju kantornya) berturut-turut dateng dan kita pun loncat naik bersama-sama ke dalam patas menuju Merak, tempat meeting point selanjutnya dengan 14 orang lainnya. Di dalem patas semuanya udah nggak dapet duduk, mau nggak mau kita berdiri dan nguobrooll pastinya, seruuu bener yang diceritain, dari seputar jalan-jalan, diving, sampe ngobrolin Belitung [merasa diracuni oleh Joko yang udah pernah ke Belitung nih gue]. Patas dari Kb. Jeruk ke Merak cuma 20.000-->mending naik patas aja deh, soalnya kalo patas nggak nge-tem di Serang, emang lebih mahal 5.000 dari bis yang biasa tapi da AC.
     Sampai di Merak, sudah ada Ojo dan Tian (mereka berdua nih berangkat dari Tasikmalaya, jam 10 pagi !!} juga Adjeng (kalo Adjeng langsung dari CGK airport, berhubung dia dari Surabaya, ada tugas kantor mendadak). Masih banyak temen yang ditunggu, kita ngedeprok aja gitu di depan Dunkin Donut. Jam 12 lewat, 20 orang udah lengkap; termasuk Noni, Noor, dan Dioz yang dateng dari Bandung.Tiket nyebrang dari Merak ke Bakauheni cuman 10.000 ajah per orang. Yang ngantri-in tiket buat 20 anak bebek yah siapa lagi kalo bukan Ibu Bebek :: Utine. Kapal fery ini hampir tiap saat ada yang nyebrang ke Bakauheni jadi nggak heran kalau mereka nggak punya jadwal waktu penyebrangan (nggak seperti di Karimun Jawa contohnya). Situasi kapal fery lumayan rame dan sesak oleh penumpang, kitapun nyebar, ada yang upgrade (nambah 10.000) ke kelas bisnis, dapet duduk dan AC tapi ada juga yang masuk ke kelas lesehan / bisnis yang cuma nambah 5.000 aja. Dan gue?? Cukup menaruh carrier gue di kelas bisnis bersama yang lain kemudian keluar menikmati angin malam di anjungan pengunjung bareng sama Nikka, Dioz, dan Rendy. Tepat jam 1.30 dini hari kapal fery beranjak menjauh dari sandarannya di Merak. Angin kencang seperti meninabobokan orang-orang yang juga duduk disitu. Banyak yang tidurnya ngemper dengan alas koran atau tikar. Kita berempat tidur dengan posisi duduk dan nggak lama pun terlelap. Penyebrangan Merak-Bakauheni memakan waktu kurang lebih 2 jam, itu kalo nggak antri parkir di pelabuhannya. Gue nggak bisa lama-lama tertidur disitu mungkin karena anginnya terlalu kencang dan gue nggak pake jaket sama sekali. Akhirnya gue bangun dan berjalan-jalan sendiri keliling kapal. Sempet mau ngopi dan duduk-duduk di kios yang ada dalam kapal, tapi nggak jadi deh, karena gue liat kursi panjangnya pun udah dicup dan dipakai buat tidur atau selonjoran oleh beberapa orang. Nggak apa-apa deh, mungkin mereka capek dan butuh tidur. Banyak gue liat ibu-ibu yang duduk-duduk sambil menggendong anaknya yang masih balita..duhh kasiannya si anak, atau sepasang kakek-nenek yang masih asik mengobrol sambil menyeruput kopi dan mengudap bakwan goreng, obrolan mereka dikalahkan suara angin yang mengganas, tapi mereka tetap mengobrol sambil melepas pandang dalam gelapnya pagi. Ahh, romantisnya... Kapal pun bersandar di Pelabuhan Bakauheni kira-kira hampir jam 4 pagi. Kami mengantri dengan sabar bersama penumpang-penumpang lain yang juga masih sepet matanya.
     Sesampainya di ruang tunggu pelabuhan kami langsung menuju terminal, tidak jauh dan mudah dicari kok. Papan tanda di sepanjang jalan menuju terminal sangat membantu. Seperti biasa, sesampainya di terminal, kami disambut para pencari nafkah beroda empat yang mengajak atau bahkan hanya sekedar bertanya tentang tujuan kami. Kami hanya melempar senyum dan menggeleng dengan tampang bantal dan pandangan kuyu. Oleh Utine kami disuruh naik angkot carry warna kuning yang sudah deal untuk dicarter. Biaya carter untuk 1 angkot adalah 150.000. Ada 2 angkot yang dicarter dan akan mengantar kami menuju Dermaga Canti. Perjalanan dari Bakauheni ke dermaga Canti yang masuk ke dalam wilayah Lampung Selatan memerlukan waktu kurang lebih 1 jam. Kunyalakan kembali GPS 76 csx, si teman setia perjalanan untuk merekam perjalan kali ini. 
     Angkot tancap gas membelah pagi buta yang gelap. Suara mesinnya menderu, menghajar aspal jalanan yang sudah rusak. Kebanyakan dari kami kembali melanjutkan tidur di dalam angkot, berharap perjalanan ke Dermaga Canti akan lebih dari 1 jam. Sayang, si supir angkot rupanya menunaikan tugasnya dengan baik, dia melajukan angkotnya tanpa hambatan dan akhirnya tiba di Dermaga Canti tepat jam 5 pagi. Dermaga masih sunyi senyap, hanya ada kami, ber-20 dengan carrier masing-masing. Sejauh ini, perjalanan kami masih terjadwal dan sesuai rencana, lebih cepat malahan tapi nggak apa-apa, masih banyak yang bisa dilakukan sembari menunggu matahari muncul. Ada yang sholat Shubuh dulu (untungnya ada musola kecil di samping dermaga), buang air kecil (untuk BAB sepertinya sih harus numpang di warung / rumah penduduk yang terletak di sebrang dermaga) ada pula yang dengan sigap mengambil kompor gas dan memasak air panas untuk menyeduh kopi dan bubur. Mas Jess, yang pertama kali inisiatif untuk bikin sarapan sendiri, diikuti beberapa teman yang lain. Sementara Dioz, Joko, Ray, Rayi, Sysil, dan Aldo lebih memilih sibuk dengan kamera SLRnya. Berbagi teknik, ilmu, tips, dan saran tentang fotografi sepertinya mudah membuat mereka lupa kalo belum sarapan pagi. Sisanya memilih melanjutkan tidur atau sekedar duduk meluruskan kaki dan selonjoran di ruang serbagunanya Dermaga Canti (serbaguna deh pokoknya bisa buat naro carrier, tiduran, koprol juga bisa). 
     Senang sekali rasanya hari itu, dapet 18 temen baru (gue cuma kenal si Utine doang) ditambah waktu luang untuk mengamati dan mengobservasi beberapa dari mereka. Gue membaringkan tubuh di atas jembatan dermaga, menatap langit subuh yang mulai berubah kebiruan, seperti warna memar. Kita nggak akan kebagian jatah untuk menyaksikan jingganya matahari terbit secara penuh karena kita berada di bagian barat, paling-paling kebagian saat matahari udah agak tinggi atau paling bagus kebagian semburat merahnya saja. Hari mulai terang dan banyak rombongan lain yang berdatangan. Rupanya wisata bahari ke Sebesi-Anak Krakatau sudah menjadi tujuan untuk sebagian besar kelompok / komunitas / semacamnya. Semangat rasanya menyaksikan antusiasme rombongan lain yang akan menuju Krakatau
     Jam 6.30 sepertinya adalah waktu dimana warga sekitar dermaga sudah selesai menggeliatkan tubuhnya dan beranjak bangun menyambut rejeki pagi di Jum’at pagi. Warung-warung kopi dan nasi bergegas membuka tendanya, memamerkan hidangan terbaiknya untuk sarapan. Gue Cuma sarapan mie rebus pake telor plus kopi susu bareng Rendy, Joko, dan Ray. Yahh cukuplah buat sampe siang snorkeling.. malah kalo diisi nasi takutnya jadi susah gerak. Jam 7 pas, kita semua siap berangkat menuju pulau pertama pagi ini; Sebuku Kecil. Bersama kapal Sahabat Muda, kita ber-20 menyongsong Selat Sunda ditemani awak-awak kapal dan cerahnya matahari yang bersahabat, sungguh suatu petualangan yang mengasyikkan. Semua sibuk masing-masing dengan kamera SLRnya. Joko, Ray, Dioz, Rayi, Sysil, sebagian dengan sukarela menjadi model, sebagian kembali terkapar di dalam kapal. Bagian atap kapal menjadi tempat favorit untuk berfoto dan melihat pemandangan. Cukup panas dan terik memang. Tapi ini kan wisata pantai, jadi harus rela dong kulitnya sedikit terbakar. Gue dengan manis duduk di pinggir jendela kapal, masih bisa menikmati pemandangan dengan teduh di bawah naungan atap kapal. Untung gak ada yang merhatiin karena gue lagi senyum-senyum sendiri sambil menatap layar GPS Garmin 76 csx. Di peta, kapal kita melewati Pulau Sebuku, tapi kita memang nggak mampir. Pantai berbatu adalah jenis pantai yang mengelilingin pulau ini.
Sebuku Kecil, spotnya nggak terlalu oke untuk bersnorkling ria, percaya dehh, kebanyakan karangnya adalah karang yang sudah mati. Di sekitar pulau ini arus cukup kuat (mungkin salah satu alasan terumbu karang nggak berkembang baik?!) makanya Pak Unyil sang nakhoda menganjurkan kita nggak terlalu ke tengah. Posisi kapal cukup strategis, bisa mendekati pulau sampai ke bibir pantai. Eksplor pulau terutama difokuskan untuk hunting foto. Pulau ini adalah pulau tak berpenghuni, sama seperti Pulau Sebuku. Nggak lama kita main-main disini, mungkin cuma sekitar setengah jam saja. Setelah dari pulau ini kita lanjut ke Pulau Umang-Umang yang letaknya di balik Pulau Sabesi. Warna laut memang nggak sebiru sebagaimana lazimnya air laut, mungkin dikarenakan aktivitas gunung Anak Krakatau dan Krakatau purba pada masanya. Kalo di Pulau Sabesi, Sebuku Kecil, dan Umang-Umang pasir pantainya masih putih dan pasir putihnya itu didominasi oleh pumice warna putih pucat, sangat cantik. Pumice ini terbentuk dari magma asam hasil dari aksi letusan gunung api (pastinya Krakatau). Strukturnya seluler dengan sifat vesikuler merupakan akibat ekspansi gas di dalamnya (sedikit mengulas petrologi nih jadinya).
     Pulau Umang-Umang nggak terlalu mengecewakan untuk snorkling. Gue ketemu terumbu karang yang agak masive, bentuknya bulat dan melebar, mungkin jenis dari platform reef, bisa hummock reef atau lainnya. Keberadaannya yang cukup dangkal menyulitkan gue untuk bergerak bebas dengan fin, alhasil, fin gue copot dan gue taro di bongkahan granit besar di sekitar pantai. Angin memang lagi kenceng, membuat ombak lari kesana kemari sehingga pasir naik membumbung ke atas, asli..kurang oke kalo mau foto under water. Setelah puas snorkling dan foto-foto di Pulau ini, kita langsung tancep gas ke Pulau Sabesi untuk makan siang.. wiihhh..memang sudah laper, walaupun baru jam 11. Dari Umang-Umang ke Sabesi nggak sampai setengah jam, deket! Disini perahu bisa sandar di dermaga. Dermaga Sabesi penuh, keliatan dari banyaknya kapal yang parkir (lagian cuma pulau ini yang ada penghuninya) pertanda banyak rombongan lain selain kita dan kita pun harus sedikit loncat-loncat melewati kapal lain, hupp! Homestaynya Pak Ayun laris manis long weekend ini. Aulanya (yang biasa digunakan untuk tidur temen-temen backpack-er) keliatan penuh dengan hidangan prasmanan untuk 3 rombongan. Nyam..nyam!! nasi, teri kacang, sayur asem, dan ikan goreng plus kerupuk adalah menu istimewa kita siang ini. Pondok Pak Ayun kayaknya emang selalu rame, disini ada penginapan juga dengan kondisi layak mandi, cocok lah buat temen-temen yang mau ke Krakatau tapi nggak mau camping. Dari Pulau Sabesi ke Anak Krakatau cuma 2 jam (bisa carter kapal dari sini). Kelar makan siang dan minum es kelapa muda. Kapal Sahabat Muda bersama 20 penumpangnya melanjutkan perjalanan ke spot / daerah transplantasi coral. Kira-kira 20 menit dari Sabesi. Walaupun ada beberapa terumbu cantik yang bisa dilihat, tapi menurut gue nggak terlalu puas untuk pemandangan bawah lautnya, cuma 30-40% aja kategori terumbu yang bisa dinikmati.. Hupp! loncat ke atas kapal lagi dan kapal tancep gas, rencana pemberhentian berikutnya adalah Pulau Legon Cabe...Eeeehh..karena semua penumpang tidur dan terjadi miskomunikasi antara Pak Unyil-Ayun-Ibu Utine (yang molor) akhirnya kita tiba di Anak Krakatau dan melewati Legon Cabe. . Padahal rencananya, satu hari itu kita mau full main air..tapi ya sudahlah nggak apa-apa juga, masih ada hari esok untuk Legon Cabe.
     Cagar alam Anak Krakatau penuh banget hari itu dan semuanya pun camping..cihuyy deh! Campur aduk rasanya berada di kaki gunung Anak Krakatau saat itu (camping pula). Ibaratnya kita berada di kandang monster yang sedang tidur dan siap bangun ataupun batuk kapan saja. Untuk geologist seperti saya (halah..!!) Ini bener-bener kesempatan yang langka, karena sudah dari jaman kuliah kenal dia, mulai dari magmanya, prodaknya, tipe letusan, sejarah letusan sampe prediksi letusan berikutnya (dari diktat, buku, video lengkap!) dan sekarang, this amazing thing is in front of me..Subhanallah! Ya Allah, seandainya saja kali ini saya boleh mendengar 'batuk'nya.. this trip is gonna be a double fantastic. Gue, Nikka, Utine, dan Rendy bahu membahu dari diriin tenda sampe masak. Kita memilih untuk diriin tenda agak menjorok ke dalam dari bibir pantai dan buka dapur untuk masak di pinggir pantai. Menu untuk makan malam kita adalah nasi goreng seafood. Well... the rice wasn't too good (i cooked) actually, tapi koki Nikka membesarkan hati dengan bilang "nggak apa-apa kok ini lumayan..." hmmm, tapi lo pasti ogah kan Nikk makan nasi kayak gini lagi?! Walaupun begitu menu sore itu ludes nggak bersisa. Tambahan nugget dan sosis goreng kering tabur abon ternyata bisa bikin kita lupa sama nasi yang kurang enak.
     Letak Anak Krakatau persis berhadapan dengan Rakata (atau Krakatau setelah erupsi 1883). Anak Krakatau ini muncul setelah tahun 1923. Kemunculannya menyerupai dinding kawah yang terus tumbuh tiap bulannya sehingga elevasinya pun kian bertambah. Sore itu di kaki Gunung Anak Krakatau sangat terasa damai. Duduk-duduk di atas hamparan pasir vulkanik yang berwarna hitam mengkilap sambil memandangi Pulau Pandjang di sebrang sana. Anginnya bukan sepoi-sepoi lagi deh kalo disini, agak kenceng! Malamnya kami berapi unggun sambil merencanakan trekking besok pagi. Nggak terlalu banyak yang dibahas. Intinya kami akan memulai trekking ke punggungan Anak Krakatau pagi hari jam 4.30 dan menyapa matahari terbit di atas sana. Punggungan Anak Krakatau adalah pos terakhir yang boleh didaki. Kepundan dan puncak sampai saat ini belum boleh untuk didaki dengan pertimbangan keamanan. Malam rasanya pendek sekali malam itu. Jam 8 malem hampir semua sudah siap menggelar matras dan sleeping bag di pinggir pantai dan bersiap tidur. Utine sudah rapi dengan matras dan melilit dirinya dengan sleeping bag. Gue nggak bawa matras, jadi merelakan saja sleeping bag gue beradu badan dengan pasir hitam. Sementara Nikka, siap tidur hanya dengan selembar sarung. Bintang nggak bertabur malam itu, agak sedikit berkabut, menatap lama-lama langit malam itu.. rasanya.. ahh kecil sekali diri ini. Tidak ada seujung kuku pun dibandingkan semesta ciptaanNya. Sejauh apapun kaki ini melangkah saya tetap kecil di mata semesta tapi semoga dengan makin jauhnya kaki ini [telah dan akan] melangkah saya menjadi mahluk kecil ciptaanNya yang lebih menghargai dan menyayangi bumi, tempat kita semua berpijak dan tinggal. Lebih khusus, lebih mencintai dan mengenali Negri yang bernama Indonesia ini :)
     Jam 4.45, Pak Ahyar, petugas / ranger yang bertugas mengawal kita selama camping di Cagar Alam Krakatau mulai membangunkan semua. Agak telat memang dari rencana semula jam 4.30. Tapi kalau lihat dari posisi Anak Krakatau secara geografis, seharusnya kita masih bisa mendapati matahari terbit lebih siang dibandingkan kalau kita di Jakarta. Selesai beres-beres sleeping bag, mengunci tenda, kita pun berangkat. Berjalan baris berbaris, dipimpin oleh Pak Ahyar. Langit masih gelap pagi itu, padahal udah jam 5 lewat. Kita berjalan memanjang, tidak berpencar karena nggak banyak yang bawa senter. Sepanjang jalan menuju punggungan gunung, terlihat pola-pola seperti channel, pastilah ini bekas jalur yang dulu dilewati lava. Medan yang dilewati memang hanya pasir vulkanik yang memadat karena masih basah oleh embun tapi kondisinya terus menanjak dan agak sulit menemukan tempat datar untuk beristirahat sebentar. Akhirnya setelah kurang lebih 40 menit berjalan menanjak, sampai juga di punggungan Gunung Anak krakatau. Gue ternganga melihat kubah si gunung ini. Saat itu elevasi di punggungan 163m mengacu dari GPS gue, padahal kata Pak Ahyar, bulan lalu masih 105m. Artinya, si Anak Krakatau ini masih aktif mengeluarkan material gunung api dan menyebabkan elevasi di pungungan dan tempat-tempat lain makin bertambah. Setelah perjalanan menanjak yang hampir tiada berhenti akhirnya kami bisa bertatap muka juga dengan Rakata yang posisinya berada bersebrangan dengan Anak Krakatau. Rakata atau yang dikenal juga dengan Krakatau purba yang erupsinya di tahun 1883 menggemparkan seluruh dunia. Ini dia, maha karya Tuhan Sang Pencipta, ada di depan mata kami. Subhanallah.. Perlahan matahari pagi mengintip di balik punggung Pulau Pandjang, salah satu pulau yang mengapit Anak Krakatau. Pak Ahyar memandangi kami, sekumpulan anak muda yang senang bukan kepalang karena telah menginjakkan kaki di Anak Krakatau, mungkin untuk dia Krakatau dan sekitarnya bukanlah sesuatu yang istimewa lagi karena untuk hidup berdampingan dengan Gunung Api yang dibutuhkan tak lain hanyalah kembali ke alam, membaca dan memahami perubahan dari lingkungan sekitar sebagai sinyal-sinyal bencana alam. 
     Bagi gue, perjalanan ke Anak Krakatau nggak hanya camping, tidur di kakinya, nyampe di punggungan dan berfoto. Perjalanan ini seharusnya intii dari rangkaian edukasi bagaimana hidup berdampingan dengan ring of fire seperti Indonesia yang sama dengan hidup berdampingan dengan bencana. Menyeramkan memang kedengarannya, tapi nggak juga kok kalo kita tahu dan mau tahu tentang sebab msabab terjadinya bencana alam. 
 Setelah puas bercengkrama dengan pasir vulkanis dan matahari pagi, kami pun turun pelan-pelan soalnya takut kepleset. Turun lebih mengasyikan buat gue, gue bisa lari terus nggak pake rem, susah kalo turun gunung pelan-pelan, dengkul dan paha capek nahan berat badan yanglumayan berat. Perjalanan turun kami berpapasan dengan banyak rombongan yang baru mau mulai naik ke punggungan Anak Krakatau. Kalo menurut gue sih lebih baik naik ke Anak Krakatau waktu matahari belum muncul, seperti yang kita lakukan ini? Kenapa ? karena pasirnya masih basah oleh embun, sudah pasti padat dan nggak licin. Targetnya jam 8.30 kita sudah harus sip berangkat ke Pulau Legon Cabe, pulau yang terlewat kemaren sore karena semua penumpang ketiduran. Sarapan dan merubuhkan tenda perlu waktu kira-kira 45 menit sampe 1 jam. Gue, Utine, Nikka, dan Rendy milih sarapan super instan, mie rebus pakenugget dan sosis, seperti biasa kokinya Nikka dan gue sebagai asisten yang motong-motong sosis dan nugget. While we were cooking Utine sama Rendy ngerubuhin tenda dan beres-beres printilan lainnya. Lumayan deh, perut kenyang, makanan abis dimasak semua, tapi nggak berarti carrier jadi enteng karena sampah wajib hukumnya untuk dibawa kembali. 
     Jam 9 tepat, masing-masing dari kita udah masukin carrier ke kapal dan kita pun siap berangkat ke Legon Cabe. Perjalanan ke Legon Cabe nggak terlalu jauh, kurang dari 1 jam kita udah nyampe. Kali ini kapal nggak bersandar di pantai cukup melepas jangkar di tengah-tengah, kira-kira 10-15 meter dari bibir pantai. Utine, selalu jadi orang pertma yang menjajal sesuatu, khusunya air laut. Dengan sigap perempuan bertubuh cabe alias kecil ini nyemplung masuk ke laut lengkap dengan snorkle dan finnya. Berikutnya dia langsung muncul lagi ke permukaan dan teriak-teriak “ikannya banyaaaaaaak!!” Komentar Utinebikin sebagian anak-anak lain langsung buru-buru make snorkle dan finnya, termasuk gue. Sebenernya sih udah capek tapi begitu liat semangat Utine yang 45 dan banyak ikan di bawah sana, gue, Nikka, Dioz, Tian, dan Ojo jadi nggak mau kalah. Bener kata Utine, banyak ikannya! Dan kita pun berenang sampe hampir deket ke bibir pantaii dan barulah banyak pemandangan reef yang cantik bukan main. Aldo dan Sysil nggak lama ikut bergabung juga, Aldo membawa remahan roti untuk dibagikan ke ikan-ikan, alhasil ikan-ikan pada merubungi Aldo. Gue berenang pelan-pelan dari kapal ke bibir pantai dan kembali lagi, nggak terlalu mentingin pemandangannya, tapii lebih menikmati saat-saat kayak gini..relax nggak ada beban, bertatapan dengan sinar matahari, main-main di air laut, dengerin teriakan dan canda riang temen-temen...ahhh indahnya duniaaaa!! Indahnya Indonesia!! Setelah puas bersnorkling, kita nyobain permainan baru yang asik. Entah siapa yang memulai yang jelas ini membuat Adjeng jadi ketagihan. Kita dengan histerianya lompat dari atap kapal ke dalam air. Salah satu cara pelepas stress yang jitu, teriak dan lompat, lalu terbenam di air. Sekali lagi, ini saat-saat yang akan selalu gue kangenin, kebebasan melepas kebahagiaan dan keceriaan yang jarang bisa gue dapetin di Jakarta, apalagi di Wisma Pondok Indah 2. Dengan berat hati selesai sudah acara bermain-main di Legon Cabe siang itu, matahari sudah mulai tinggi dan perut pun sudah terasa lapar. Kita pun kembali ambil posisi di dalam kapal untuk beristirahat.. tidur tepatnya. Suara berisik mesin nggak bisa ngalahin ngantuk dan capeknya gue. Gue tidur pules, les, les dan les. Kita makan siang di Sabesi lagi. Hmmm..kali ini apa ya lauk enaknya dari Pak Hayun. Disni pun kita sempet bersih-bersih badan. Kamar mandi di pondoknyaPak Ayun Cuma ada 2, sedangkan rombongan yang ada disitu bukan Cuma rombongan kita aja, jadi mau nggak mau kita nyewa kamar mandi milik penduduk setempat, lumayan deh jadinya nggak terlalu berebut. Setelah bersih-bersih akhirnya menu makan siang kita santap tanpa bersisa. Coba diicip aja menu enak prasmanannya; nasi, ikan goreng, sayurlodeh dan tempe bacem. Plus es kelapa muda dan pisang, nyam..nyam kenyang deh. Setelah menyelesaikan administrasi kitapun siap-siap untuk pulang, berpamitan lalu foto-foto di depan pondoknya Pak Hayun. Kembali kami tidur pulas di dalem kapal, perjalanan Sabesi-Canti lagi-lagi terasa singkat. Sampe Canti sekitar jam 3, kita masih sempet sholat Dzuhur di mushola kecil yang ada di dermaga. Tepat jam 3 angkot yang kita carter dari dermaga berangkat menuju Bakauheni. Jalanan lancar, nggak ada kemacetan yang berarti hanya perlu sedikit antri waktu di km8 karena ada jalan longsor, sebagian badan jalan pun habis termakan. Masih setengah ngantuk di angkot eh udah nyampe lagi di Bakauheni. Pelabuhan juga masih terlihat lengang mungkin karena ini baru hari Sabtu sedangkan sebagian orang menghabiskan libur panjang sampai dengan hari Minggu. Di kapal kali ini kita dikenakan 7.000 untuk ruang lesehan, tapi lumayan kali ini ruangannya nggak terlalu penuh sehingga gue bisa tidur dan selonjoran. 
     Ferry berangkat sekitar hampir pukul 6, meninggalkan pelabuhan diiringi matahari terbenam, langit jingga Kabupaten lampung Selatan melambai pada kami, 20 anak manusia Jakarta yang mampir sekedar mengicip hangatnya air laut Selat Sunda. Gue merasa alam Lampung begitu ramahnya pada kita. Semoga..semoga saja, gue dan 19 orang lainnya nggak hanya sekedar jadi penikmat alam Indonesia dan nggak sekedar Cuma bisa bilang “Gilaa!! Krakatau keren bangett!!” lalu selesai. Setiap perjalanan seharusnya kita semua makin mengerti, bukan ego belaka yang ditonjolkan tetapi menyadari bagaimana seharusnya kita sebagai ‘tamu’ dari planet bumi menghormati dan menghargai si ‘tuan rumah’.
     Sekian catatan perjalanan kali ini Terimakasih untuk Pak Hayun,seksi repot catering dan semua kelengkapan perjalanan. Utine, si Ibu seksi repot urusan administrasi. Pak Unyil dan ABKnya serta Pak Ahyar. Juga untuk 18 temen baru yang lain, u are awesome guys!!

Rincian Biaya Perjalan, untuk contekan lumayan nih
1.       Tiket Ferry Merak – Bakauheni PP @10.000 x 20 x 2 = 400.000
2.       Carter 2 Angkot PP @150.000 x 2 = 600.000
3.       Carter Perahu kap. 20 org + Ranger untuk 2 hari = 2.200.000
4.       Jasa dermaga canti = 40.000
5.       2 kali makan siang @ 12.500 x 20 = 500.000
6.       2 kali kelapa muda @ 3000 x 20 = 120.000
7.       Sewa kamar mandi = 20.000
8.       Sewa 4 galon aqua @ 20.00 = 80.000 

TOTAL 3.960.00 / 20 = 198.000 (dibulatkan) 200.000/orang

Tambahan:
Ojek Pondok Indah-Kebon Jeruk: 25.000
Patas Jakarta-Merak-Bekasi: 40.000
Kamar lesehan di kapal: 7.000


The people
The view


















No comments:

Post a Comment