Friday, September 21, 2012

Kawah Ijen-Baluran-Tj. Papuma


Cerita Perjalanan ke Kawah Ijen-Baluran-Tanjung PapumaLibur panjang 2-4 April gue manfaatin untuk pergi bareng anak-anak SharTrav untuk ke daerah Jawa Timur. Meeting point adalah Stasiun Pasar Turi di Surabaya tapi gue dan 5 orang lainnya sepakat untuk berangkat bareng naik kereta ekonomi Kertajaya dari Stasiun Pasar Senen. Gue nyampe di Stasiun Pasar Senen jam 14.00, padahal kereta berangkat jam 15.45. Gue harus dateng duluan karena tiket 5 temen yang lain ada di gue. Yup! gue merangkap sebagai calo dalam perjalanan kali ini tapi calo yang baik hati tentunya karena harga tiket gak gue lipat gandakan. Anyway... satu per satu pada dateng deh, mulai Nikko, Imam, Yelli dan Nadya. Nggak ada yang gue kenal (seperti biasa) kecuali Nadya. Tunggu punya tunggu, neng Dina nggak dateng-dateng padahal udah jam 15.30. Well, terpaksa deh kita masuk duluan ke peron dan menunggu keajaiban datang, semoga Dina dateng tepat sebelum keretanya berangkat. Bener deh kereta dateng untungnya agak telat dan Dina bisa gabung bareng kita di kereta. Situasi di kereta ekonomi gue rasa perlu gue ceritain karena ini sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Sebenernya pengalaman naik kereta ekonomi udah pernah gue cobain dulu, waktu masih jaman kuliah. Yang ini agak berbeda karena pertama perginya bareng temen-temen yang baru dikenal, kedua.. ini libur panjang dan penumpangnya pun tumpah ruah dalem kereta. Beruntung kita ber-6 punya kemampuan ngotot yang oke, akhirnya orang-orang yang nempatin bangku kita bisa kita usir dengan halus. Kereta berangkat sekitar jam 4 sore lewat. Gue duduk di tengah diapit oleh Yelli dan Imam, sementara bangku di depan gue diisi oleh Nikko, Dina, dan Nadya. Kereta penuh sesak oleh penumpang, banyak yang berdiri sehingga lorong untuk jalan di dalam gerbong pun penuh oleh penumpang. Beginilah potret masyarakat kelas III di Indonesia. Serba ke pinggir, duduk harus minggir-minggir, berdiri pun juga gitu. Tiket emang nggak mahal, Cuma 45.000 tapi karena nggak mahal itulah kita ‘tidak berhak dapet apa-apa’. Ada frame yang paling gue suka dari situasi kelas pinggir ini. Di antara penuh sesaknya penumpang, masih aja ada seliweran para penjaja makanan yang berjuang nggak mau kalah dari para penumpang, ngapain lagi mereka kalo bukan berjuang mencari receh dengan menjual makanan. Dari gorengan, kipas, nasi, minuman, koran bekas untuk alas duduk, boneka dan tas untuk oleh-oleh, serba ada lah pokoknya. Tak lupa kami pun membeli kipas di dalam kereta (asli ini penting banget!! panaaaaaasnya naujuhbilahiminjalik!)

Sudah jelas, pasti dan nyata rasanya perjalanan dengan kereta ekonomi akan memakan waktu yang cukup lama, bayangin aja berangkat jam 4 lewat masak nyampe Cirebon jam 9 malem, padahal normalnya ke Cirebon dengan Cirex itu 3 jam saja. Anyway, tentunya kita udah terima resiko ini jauh-jauh hari waktu pesen tiket ekonomi bukan? Lalu? ya nikmati saja...*kembali tidur dengan keringetan sambil sesekali kipas-kipas* Jam 7 malem, perut udah ngilik kitik minta dikasih makan. Untungnya gue dibeliin nasi bungkus sama bokapnya Nadya yang notabene adalah Om gue..amien, amien makasih ya Om. Gue nggak kebayang perut gue gimana kacrutnya kalo gue harus beli nasi bungkus di kereta,seperti yang dialami Nikko.. :) nanti aja yah ceritany pas udah di Ijen. Berbagai menu kayaknya dijajakan di kereta, sebut aja, nasi ayam, nasi telor, nasi pecel, ada gorengan juga yang dijtata rapi di atas tampah dan dijajakan di atas kepala mbok-mbok. Mulai masuk daerah Kudus pun jajanan didominasi oleh jenang dan wingko.
Ada kejadian lucu waktu kereta berhenti di Semarang. Dina yang sudah pengalaman naik kereta ekonomi sebelumnya memberitahu kami bahwa kereta biasanya berhenti agak lama di stasiun Cirebon dan Semarang, jadi itulah kesempatan kita untuk ke WC dan buang air kecil. Dari awal gue sudah mengantisipasi dengan minum amat sangat sedikit supaya keinginan untuk buang air kecil bisa ditahan sampai Surabaya. Rupanya Nadya udah nggak tahan untuk ke WC dan pipis. Beruntung terasanya pas di Stasiun Cirebon, jadi keluarlah Nadya dari kereta dengan ditemani Imam untuk ke WC. Rasanya kereta berhenti lama sekali, lebih lama daripada di stasiun-stasiun kecl lain sebelum Cirebon. Sekitar 10-15 menit kereta berhenti dan Nadya dan Imam pun kembali tepat waktu. Kereta kembali berjalan, sedikit demi sedikit menapaki daerah Jawa Timur.Gue lirik GPS 76csx di tangan dan berusaha mengkalkulasi waktu tiba kami di Surabaya, sekedar mengalihkan rasa bosan dalam kereta saja sebenarnya. Sekitar jam 2-3 kereta pun memasuki Stasiun Semarang Poncol. Berhenti. Dina dan Yeli saling pandang. Sepertinya telepati ‘ingin pipis’ antara mereka berdua nyambung. Tiba-tiba gue juga merasa perlu untuk ke WC dan buang air kecil. Ah belum terlambat nih untuk pipis, pikir gue. Untuk keluar dari gerbong keret aja penuhperjuangan wlaupun belum seberapa waktu ngantri WC. Yah bayangin aja, seisi kereta kebelet pipis dan bilik WCnya cuma ada sedikit. Gue berada di antrian paling belakang aja. Belum hilang ngos-ngosan gue saat menerobos keluar kereta, bel tanda kereta akan berjalan udah dibunyiin. Sontak semua pengunjung WC berbalik dan tergopoh-gopoh menuju kereta Kertajaya, satu-satunya kereta yang lagi berhenti dan akan segera berangkat sebentar lagi. Masuk ke kereta lagi aja perjuangannya harus mati-matian! Bener-bener deh, ternyata di negara ini jadi golongan kelas III selain harus serba ke pinggir ternyata juga butuh perjuangan dalam setiap langkah, bahkan langkah mau ke WC aja harus diperjuangkan mati-matian, berdesak-desakan dan mati-matian. Dan disinilah gue lagi, di kursi kereta ekonomi nomer 9B duduk sambil menahan pipis..wew!! Bener-bener nggak akan lupa sama pengalaman ini. Sayang, gue lupa motret hingar bingar situasi di kereta selama perjalanan. 
Jum’at 2 April, akhirnyaaaaa..setelah bangun, tidur, bangun, tidur..kami melihat matahari muncul menyapa kami di luar sana. Indahnya pagi tetap merona buat gue di balik buramnya jendela kereta ekonomi. Kereta berjalan sedikit tergesa-gesa, membelah persawahan yang dari tadi ituu aja yang keliatan. Udah pagi tapi tetep aja merasa kok ni kereta nggak nyampe-nyampe ya. Kereta udah mulai sepi, penumpang lain udah banyak yang turun. Kesempatan untuk meluruskan kaki nih, pikirku. Wih, agak ajaib melihat kaki yang sudah tertekuk selama lebih dari 12 jam. BENGKAK!! terlihat seperti ibu hamil yang kakinya guedenya alaihim. Lucu! Jam 7.30, kereta pun akhirnya merapat ke Stasiun Pasar Turi. Alhamdulillah..akhirnya kami ber-6 mampu melewati 14 jam dalam kereta ekonomi Kertajaya, amazing! 
Di Stasiun Pasar Turi udah ada Dj. Dj naik kereta bisnis Gumarang dari Jakarta dan tiba belum lama dari kami. Selain kita ber-6 ada Mbak Ida (Farida) dan Mas Teguh yang juga naik Kertajaya tapi duduk di gerbong berbeda. Kami langsung berhambur keluar nyari kamar mandi,.*prodak menahan kencing sejak dari Semarang* Beruntung, kamar mandi di luar stasiun bersih luar biasa dan boleh dipake mandi. Cuma Rp 3.000 untuk mandi dan Rp 3.000 untuk ngecharge HP. Selesai mandi, badan udah seger, rasanya plong bener, walaupun kaki masih bengkak dan guede tidak menyurutkan rasa lapar gue ternyata. Gue sarapan di kantin dalem stasiun sambil masih menunggu kedatangan Fiksi dan temen-temen dari Bandung. serta Shanti dan Rena yang berangkat pake bis dari Jakarta. Gue diminta Dije untuk jadi bendahara (penunjukkan secara sepihak sebenernya tapi saya senang kok) dan ngumpulin uang patungan untuk nyewa Elf selama 3 hari; Rp. 200.000 aja untuk patungan sewa mobil, bensin, dan tol. Jam 9 lewat dikit 12 orang udah ngumpul, kurang Shanti dan Rena. Setelah dikontak ternyata mereka baru nyampe Semarang jam 5 pagi yang artinya masih lamanyampe Surabayanya. Karena takut membuang waktu kita pun janjian untuk bertemu dengan Shanti dan Rena di terminal bis Probolinggo, dan kita pun brangkaaaaaaaat. Elf dengan tarif Rp 600.000 / hari (termasuk tip supir) ini berkapasitas 14 (tanpa supir), lumayan empet-empetan sebenernya tapi gak apa-apa, dibikin nyaman aja. 
Mulai masukjalan tol Porong-Sidoarjo kemacetan pun mulai terjadi. Lokasi semburan lumpur yang dihalangi tanggul berada di arah Utara dari jalan tol yang mengarah Barat-Timur. Terlihat tanggul tersebut sudah dipenuhi oleh para pedagang asongan dan penjual minuman, belum lagi sekumpulan ojek yang nge-tem disitu. Kabarnya sekitar lokasi lumpur lapindo di pinggir jalan tol ini mendadak jadi tempat wisata warga sekitar yang penasaran ingin lihat lumpur lapindo ini. Gue juga penasaran sih tapi kali ini bukan saat yang tepat untuk mampir karena road trip ini dipastikan sangat ketat jadwalnya. Perjalanan ke Sidoarjo bener-bener tersendat. Gue tertidur begitu juga dengan yang lain sehingga Renokenongo, Legok, Beji, bangil, Pasuruan , Rejoso, dan Lekok terpaksa terlewatkan. Udara sangat panas dan AC mobil sangat rusak tapi entah kenapa gue tidur pules banget. Untunglah kipas sate cap kereta ekonomi belum kita buang sehingga bisa agak adem dengan kipasan. Nggak kerasa udah 3 jam perjalanan dan gue terbangun pas udah waktunya makan siang. Kita makan di Rawon Nguling dimana lagi kalo bukan di Kota Nguling yang terletak di pinggir Jalan Raya Nguling. Lumayan rame nih restonya, emang cukup terkenal dan enak (ada cabangnya loh di Jakarta, Jl. Cikajang-->daerah Santa). Hampir semuanya pesen Rawon walau sebenernya menu lain khas jawa timuran juga ada. Enak, rame, dan murah, cukup 17.000 ajah udah lengkap pake es jeruk. Melanjutkan perjalanan dengan cerita-cerita sama Dina dan Mbak Ida cukup seru juga. Well, bukannya gitu ya prinsip sharing travelling; first you go alone then you make friends. Tadinya Dj sempet kepikiran untuk ke air terjun Madakaripura dan menghabiskan waktu sampe sore disana, tapi gue, Mbak Ida, dan Dina kekeuh waktunya nggak akan cukup. Cobalah tengok peta dan GPS, kalkulasi jarak dengan menarik garis lurus aja (N 235⁰ E) sudah sekitar 30km, apalagi kalau jalannya ke arah Selatan dulu lalu berbelok ke arah Barat, wah bisa lebih dari 50km apalagi mobilnya kan bukan mobil turbo apalagi pak supirnya (punten nya pak) yang sub-standart of sub-turbo alias super slow ples super lemota, oh! (ini sungguhan temans, makanya nanti di note aku ga rekomen untuk penyewaan elf ini). Ditambah referensi Mbak Ida yang udah pernah kesana yang mengatakan kalo wilayah ini adalah wilayah kental dengan premanisme, akhirnya ke Madakaripura pun nggak jadi kitapun langsung nyari jalan ke terminal Probolinggo. Setelah eyel-eyelan sama pak supir yang keras kepala (pak, punteun deui ieu mah) yang ternyata juga bolot parah (haduh gusti, ampuni hamba!) akhirnya kitapun nyampe di terminal Probolinggo untuk menjemput Shanti dan Rena yang datang dari Jakarta pake bis. Well, so here we are, 14 people are complete with 1 annoying driver (sorry, but it’s true!) ready to take off to Kawah Ijen.
Perjalanan ke Kawah Ijen bener-bener panjang. Dari Probolinggo, melewati Jalan Raya Paiton yang tersohor dengan PT Paiton Energy-nya lalu.. belum sempat mencapai kota berikutnya, gue sudah tidur dengan nyenyaknya. Jalan Raya Paiton menuju Situbondo ini mulus bukan main dan lebar membuat perjalanan makin nyaman dan tidur makin nyenyak. Kawah Ijen terletak di sebelah Tenggara dari Kota Situbondo / sebelah Baratdaya TN Baluran. Untuk menuju Kawah Ijen ada dua pilihan; pertama bisa dari Taman Nasional Baluran, Banyuwangi (Jalan Raya Situbondo-Banyuwangi / Timur-Timur Laut dari kawah Ijen) berbekal dari blog orang, jalur ini ga disarankan karena medannya yang cukup terjal dan licin setelah hujan ditambah jalannya banyak yang rusak. Walaupun lebih dekat jaraknya dan rute favorit wisatawan karena Bali-Banyuwangi tidaklah terlalu jauh. Pilihan kedua yang banyak ditulis di blog adalah dari Bondowoso. Kalo dari Bondowoso, begini rutenya:


1. Ambil arah menuju Kota Situbondo (Dengan asumsi posisi berada di Kota Bondowoso)
2. Terus ikuti jalan melewati Wonosari sampai bertemu dengan pertigaan Tapen. Dari Tapen belok ke arah Timur. Rute Tapen-Sempol, jalannya rusak dan berlubang. Di wilayah Sempol ada 2 pos lapor dan jaga (karena ini adalah wilayah PTPN) yaitu saat akan memasuki Jampit dan Blawan.
3. Dari sini perjalanan dilanjutkan menuju pos Paltuding (pos sekaligus desa terakhir sebelum mencapai Kawah Ijen).
4. Rute Sempol-Paltuding adalah trek menanjak dengan jalan yang cukup mulus dan lebar. Untuk Guesthouse bertebaran banyak sekali di Paltuding dan Jampit.
5. Pos Paltuding berlokasi 3km sebelum Kawah Ijen, tersedia tempat untuk parkir mobil, WC umum dan warung seadanya (mie goreng/rebus,gorengan,aqua,roti dan snack)



Jam 5 sore kita mulai dari Probolinggo dan baru sampe di Paltuding kurang lebih jam 12 malam. Perjalanannya emang panjang dan sangat jauh. Mungkin bisa lebih dekat kalau mencapai pertigaan Tapennya langsung dari Situbondo. Walaupun jarak Bondowoso ke Kawah Ijen (say Paltuding) hanya sekitar 75km tapi kondisi jalan dari pertigaan Tapen-Sempol yang rusak, berkelok-kelok, sempit, dan licin terus terang agak menyulitkan perjalanan. Tambahan, papan jalan menuju Paltuding dirasakan amat sangat kurang, jadi lebih baik bawa peta atau setidaknya harus rajin-rajin nanya. Satu hal lagi, jika naik mobil pribadi, jangan lupa untuk penuhin bahan bakar di Bondowoso, karena nggak ada tuh SPBU sepanjang Wonosari sampe ke Ijen. Beruntung di Paltuding ada yang jual solar eceran, 6.000 untuk 1 L, langsung kita beli 20L, nggak apa-apa deh mahal daripada mobil mogok dan harus dorong ?? Sebelum Sempol kita cuma sempet berhenti 45 menit untuk makan mie rebus sebelum masuk wilayah Sempol. Nggak banyak pemandangan yang bisa dilihat, udah malam dan ga banyak penerangan dan lampu jalan di sepanjang jalan. Hanya karena malam itu bulan penuh, keindahan Sempol-Paltuding serta samar-samar si Gunung Argopuro dan Rawung. Nyampe Paltuding, nggak pake ba-bi-bu lagi kita buka sleeping bag, gelar matras. Kita nggelar matras di pelataran sebuah cafe kayaknya (keliatan dari plangnya aja) yang berbentuk rumah panggung, lumayan kan!? Sebagian tidur di dalem mobil, sebagian di luar. Gue pilih tidur di luar laaah, percuma dong bawa gembolan sleeping bag kalo nggak dipake. Rencananya adalah kita mulai trekking ke Kawah Ijen jam 3 pagi untuk melihat matahari terbit, uhh kedengerannya manis banget ya. Tapi menuju kesana nggak semanis itu loh. Lagi asik-asik tidur dibangunin aja gitu sama Dije “udah setengah empat woy!” ihh..nggak percaya rasanya, kayanya baru merem deh. Bersiaplah kita dengan perlengkapan perang masing-masing. Gila! Paltuding itu dingin banget! Gue nyesel Cuma bawa 1 sweater, sweater lagi bukan jaket. Alhasil kaos dan sweater gue dobel lagi pake rain coat panjang, lumayan. Udah gitu pake nggak bawakaos kaki lagi, untung dipinjemin Shanti (relain ya Shan kaos kaki baru lo ini). Kira-kira jam 4 kita mulai perjalanan ke Kawah Ijen. Dengan membawa barang secukupnya dan mendaftarkan rombongan ke pos administrasi kita pun berjalan pelan-pelan bersama rombongan-rombongan lain yang niat trekking pagi demi matahari terbit. Perjalanan sejauh 3km ditempuh kuranglebih 1.5 jam. Di kilometer pertama jalur masih landai, mulai di kilometer kedua sampai terakhir jalur terus menanjak dan berkelok. Jangan kaget kalo dalam perjalanan kadang berpapasan dengan para penambang rakyat yang memikul belerang dari Kawah Ijen sampai ke pos timbangan (km ke-2). Untuk satu kali perjalanan berat rata-rata belerang yang dipikul mencapai 95kg. Wew.. sudah terbayang kira-kira betapa kerasnya hidup untuk sesuap nasi? Dan 1kg belerang dihargai oleh pengumpul sebesar Rp 600 saja. Miris? Sudah pasti. Makanya hargai hidup yang kamu punya ketimbang menyesalinya.
Material lahan cukup bersahabat antara lain abu vulkanik, leleran lava, lapili dan bom gunungapi sehingga jalannya padat dan nggak licin di saat jalan menanjak tapi medannya itu lo yg kurang bersahabat, nanjak terus. Jalan menuju kawah cukup lebar, kira-kira 2-3m, rapih dan bersih dari semak-semak, tong sampah juga gampang ditemui sebelum pos timbang, maka dari itu jangan buang sampah sembarangan ya kalo main-main kesini, kalopun di sekitar kawah nggak ada tempat sampah, simpen aja dulu sampahnya, seberapa berat sih mbawa aqua botol kosong dan bungkus-bungkus permen lainnya ? Oh iya, disini akan gue ceritain alasan untuk tidak makan makanan di kereta. Lagi capek-capeknya nanjak, perut Nikko mendadak mules dan ngajak ribut. Well, bisa juga karena masuk angin ya, mengingat perjalan darat kita yang panjang bukan main apalagi malamnya kita hanya sempet makan mie rebus di warung kecil di daerah Sempol.
Hawa makin dingin membuat gue tetep berjalan terus walaupun pelan-pelan supaya badan tetep hangat. Perjalanan ke atas untuk gue membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam udah sama brentinya di pos timbangan. Kalo pas nanjak agak susah ya brentinya jadi mau nggak mau harus tancep gas terus, nggak apa-apa pelan-pelan asal konsisten, penting loh untuk mengatur nafas. Sampai di atas, nafas yang ngos-ngosan langsung berubah normal karena semangat yang meledak-ledak. Walaupun masih agak gelap tapi aura kecantikan Kawah Ijen udah terasa. Rencana untuk melihat matahari terbit dan nongol di balik garis cakrawala agak berubah karena posisi kita yang nggak pas untuk menatap langit cakrawala sebelah timur.Meskipun begitu kita nggak bosen nungguin perginya kabut yang menutupi kawah. Daerah Ijen dan sekitarnya dibentuk oleh morfologi yang berbeda-beda. Menurut Kemmerling (1921) morfologi tersebut adalah; runtuhan Gunung Api Ijen Tua, Kendeng, Ringgih (elevasi 2000m), Gunung api bagian timur meliputi Merapi, kawah Ijen, Papak, Widodaren, Pawenan. Sebelah selatan meliputi Gunung Rante, Cilik, dan sebelah barat meliputi Jampit yang merupakan bendungan jebol dari Gunung Raung dan Suket. Jadi, Kawah Ijen yang ada di hadapan gue ini termasuk ke morfologi gunung api bagian timur. Ternyata Kawah Ijen dan Gunung Raung adalah gunung api yang masih aktif loh. Setelah kabut sedikit demi sedikit menghilang, air kawah terlihat hijau kebiruan. Tentu ini karena kandungan mineral pada air tersebut. Mungkin aja karena kandungan Fe dan Sulfat yang tinggi, karena kalo kedua unsur ini bereaksi akan membentuk senyawa FeSo4 yang berupa padatan berwarna hijau. Gue Cuma berani duduk sampe bibir kawah aja, ga mau turun lebih ke bawah, nggak kuat untuk menghirup bau gas H2S / belerang yang sangat santer. Pemandangan dari sini bisa keliatan gagahnya Gunung Raung, lalu kalo melihat Selatan-Baratdaya bisa dadah-dadah sama Gunung Ranti dan Linu. Tepat di sebelah Barat ada Gunung Widodaren dan Papak. Lalu ada Gunung Madipuneng dan Pawenan di sebelah Utara. Puas berfoto-foto dan berleha di bibir kawah kami pun turun walaupun hanya gue, Nikko dan Shanti karena yang lain masih asik turun ke pinggir kawah sampai ke tempat dimana para para penambang batu belerang menambang. Sangat beresiko.



Jam 9 pagi kita sudah siap berangkat menuju Baluran. Di pos Paltuding selain ada WC umum yang bersih dan bisa buat mandi ada warung untuk sarapan juga, yah lumayan warung seadanya yang penting bisa ngisi perut. Perjalanan ke Baluran dicapai lewat jalur ke arah Banyuwangi. Jalanan aspal rusak parah ditambah medan yang berliku dan curam turunannya, memang lebih dekat tapi tetep bikin kita was-was akan kondisi jalanan. 


Sampe di Baluran sekitar tengah hari. Kita sepakat untuk skip makan siang demi menghemat waktu. Sebagai gantinya cemilan pengganjal perut pun ludes termasuk pisan sesisir yang gue beli di Paltuding. Pintu masuk Baluran terletak di pinggir jalan raya Situbondo-Banyuwangi. Dalam kawasan Baluran, pos pertama yang harus kita datangi adalah pos Bajulmati. Ini tak lain adalah pos untuk membeli tiket masuk kawasan Baluran. Sayang.. baik petugas maupun informasi yang disediakan disini masih sangat kurang. Tidak ada brosur, penjelasan yang cukup tentang ‘Baluran’ apalagi gambar/foto/poster yang memamerkan tempat wisata ini. Dari pos ini kita harus menuju pos berikutnya atau disebut Wisma Bekol yang berada kira-kira 12km dari pos pertama ini. Jalanannya agak sempit, kalo ada 2 mobil dari ara lain harus bergantian, tambahan lain jalannya rusak. Pemandangan di samping kanan dan kiri jalan hanyalah semak belukar yang tumbuh tanggung dan berantakan. Gunung Baluran yang berada di sebelah Utara juga masuk ke dalam kawasan ini. Sepanjang Baluran highway dari pos Bajulmati sampai Wisma Bekol, si Gunung Baluran inilah yang menyapa kita dengan viewnya yang menarik. Hampir bosen sebenernya berada di Baluran highway karena kita nggak tau apa yang mau dilihat. Sepanjang jalan nggak ada liat binatang sama sekali yang katanya banyak monyet, rusa, dan ayam hutan. Sampai kira-kira 300m sebelum Wisma Bekol barulah kita melihat hamparan padang rumput yang luaaaaas bukan main. Kitapun turun dari mobil dan berjalan kaki sampai Wisma Bekol. Ngapain lagi kalo bukan untuk hunting foto di padang rumput ini. Nggak lama, 2 ekor burung merak terbang di depan kita kemudian menghilang jauh di dalam semak. Padang rumput menghampar di bagian selatan kawasan ini sedangkan di sebelah utara berdiri gagah Gunung Baluran dengan dikelilingi semak dan hutan. Gue berjalan terus ke Wisma Bekol, niat nyari tolet, sambutan dari monyet ekor panjang nggak kalah ramah dari petugas di pos Bajulmati. Wisma Bekol adalah penginapan ternyata, tersedia fasilitas akomodasi dengan berbagai tipe dan harga. Wismanya cukup bersih, saat itu sedang sepi, nggak ada pengunjung yang menginap. Disini informasinya lumayan lengkap, ada peta, what to see, berbagai spesies burung-burung dan hewan lain yang ada disini. Para petugas cukup ramah dan membantu. Gue paling suka melihat view ke arah timur dari menara pandang yang terletak agak di atas dari Wisma Bekol. Disitu kelihatan sekumpulan rusa-rusa sedang leyeh-leyeh sambil mamam rumput (halah!). Dari Wisma Bekl perjalanan dilanjut ke arah timur, yaitu Pantai Bama, sekitar 3km aja jalannya. Sore itu, jam 4, terlihat pelangi di sebelah timur, arah kemana kita akan pergi. Seperti mengejar pelangi rasanya sore itu, pak supir memacu mobilnya pelan-pelan seperti membelah padang rumput demi mengantarkan kami menuju pantai, sementara yang di dalam mobil sibuk mengambil objek sang pelangi di ujung timur. Pantai Bama pun sepi, kami disambut lagi oleh monyet ekor panjang. Disinipun ada wisma yang cukup rapi dan bersih yang saat itu lagi nggak ada pengunjung. Rupanya Pantai Bama ini sering digunakan sebagai penelitian terumbu karang oleh mahasiswa-mahasiswa biologi. Kami nggak bisa lama-lama disini karena hari makin gelap dan mendung sudah menggantung di langit, ditambah belum makan. Akhirnya kami keluar dari TN Baluran dan berada di jalan raya Situbondo-Banyuwangi pas pukul 6 sore. Selanjutnya tentu saja nyari warung makan terdekat. Puas mengisi perut di warung pinggir jalan dengan menu nasi rames, kita pun istirahat sambil ngecharge HP dan kamera, peralatan tempur penting kalo lagi ngetrip. Tepat jam 8 malam kami pun berangkat lagi, menuju objek terakhir dari trip kali ini; Pantai Tanjung Papuma di Jember. Supir melajukan mobil di jalan raya Situbondo mengarah kembali ke arah Situbondo, agak bolak-balik memang jadinya trip ini karena objek pertama, yaitu Kawah Ijen posisinya berada di tengah antara Baluran dan Tanjung Papuma.
Untuk mencapai Papuma dari dari Baluran adalah kembali ke jalan raya Situbondo-Banyuwangi mengarah ke Kota Situbondo. Kemudian ambil arah ke Selatan menuju Kota Bondowoso (papan jalan cukup jelas kok) atau kalo bingung nama jalannya adalah jalan raya Situbondo-Bondowoso. Papuma berada di dalam wilayah Kabupaten Jember dan berlokasi di Kecamatan Ambulu. Oleh sebab itu kita nggak perlu ngubek-ngubek Kota Jembernya, cukup ambil arah Selatan ke luar Kota Jember, nanti akan ada papan penunjuk jalan bertuliskan ‘Objek Wisata Watu Ulo’ (Papuma dan Watu Ulo ini lokasinya bersebelahan dan terleltak di kecamatan yang sama). Papan jalan sepanjang jalan cukup minim, berbekal GPS yang peta jalan kecilnya nggak lengkap, posisi Kota Jember dan Pantai Papuma, kurang lebih gue dan Dina bisa mengarahkan co-pilot dan supir untuk memilih jalan yang akan dilalui. Kami sudah hampir dekat dengan pantai di tepi Samudra Hindia tapi kok penunjuk jalan seakan-seakan lenyap. Beruntung matanya Dina masih awas dan dia liat di pinggir persimpangan jalan papan bertuliskan ‘Pantai Papuma 3km’ dengan tanda panah mengarah ke Selatan. Sepertinya ini yang dimaksud dengan ‘jalan baru’ dalam catper seseorang yang sudah pernah kesini. Ditulis dalam blognya bahwa jalan baru tersebut berbatu, sempit dan tidak beraspal seperti jalan utama yang sedang kita lewati. Kami pun berhenti tepat di persimpangan itu. Jalan itu sudah beraspal, sempit, gelap, dan dirantai ples gembok. Kira-kira malam itu hampir jam 12 malam. Kali ini pak supir inisiatif nanya seorang penduduk yang kebetulan masih nangkring depan rumahnya sambil ngeliatin kita yang kebingungan. Rupanya beliau menyarankan kita untuk ke rumah salah satu warga, sebut saja Pak Bambang (bukan namam sebenernya-saya lupa!) untuk minta dibukakan gemboknya. Diplomasi tingkat desa selesai, nggak sampe 15 menit gembok rantai pun dibuka dan kita melaju menuju Pantai Papuma. Jalan ini berasal dan tidak terlalu rusak, medannya pun nggak seekstrim Tapen-Sempol cuma nanjak dan turunan seperlunya. Pos 1 adalah yang letaknya di pertigaan,kaloke kanan menuju Pantai Watu Ulo dan kalo ke kanan ke Pantai Papuma. Pos ini udah di pinggir pantai dan terletak agak di tebing. Malam itu bulan purnama jadi kita pemandangan malam di pantai samar-samar udah keliatan. Dari pos ini jalan baru menanjak dan sempit, untung aspalan. Lalu sampailah kita di Pantai Papuma, pantai cantik yang kini sudah dikomersilkan oleh PTPN. Pos 2 bukan cuma nyobek-nyobek karcis, mereka juga minta duit lagi..grrr kenapa ya gak bisa one stop ticket?? Ahh sudahlah, yang penting Pantai Papuma suda di depan hidung nih. Buru-buru gue ke tepi pantai, cari-cari tempat nyaman untuk gelar matras. Perfecto! Langit gelap pekat, bintang berserakan aja gitu di langit, dan bulan purnama yang bulat, penuh, dan sempurna menambah kelengkapan pemandangan pengantar tidur kami. Sebelum cabut tidur, orientasi dulu nih situasi pantai yang rapidan tertib ini. Ada beberapa pendopo yang disediakan pengelola supaya kita bisa istirahat disana. Disediakanjuga camping ground untuk mereka yang mau buka tenda. Jangan khawatir, warung makanan dan WC umum cukup memadai baik jumlah dan kebersihannya. Sayangnya pihak pengelola mengharuskan kitamembayar iuran uang keamanan bagi merekayang ingin tidur di pendopo / nenda, anehkan?! Buktinya terjadi tawar menawar antara gue dan pengelola untuk besarnya uang keamanan ini, ahh geram deh rasanya jadi korban pungli. Untuk penginapan disini juga tersedia, ratenya sekitar 200.000-300.000 dengan kamar mandi di dalam, gue nggak terlalu menggali banyak informasi soalnya nggak berminat juga. Urusan administrasi kelar tiba saatnya meluruskan kaki, merebahkan punggung di atas matras... ahhh nikmat sekali rasanya. Again, this moment is surely unforgettable. Berbaring di bawah langit malam dikeliling teman-teman hebat seperjalanan adalah cerita yang nggak akan pernah selesai kita ceritakan sampai datang cerita berikutnya, begitu seterusnya, sampai pada akhirnya kita sadar begitu banyak cerita dari sekian banyaknya perjalanan bersama begitu banyaknya teman-teman yang hebat, seperti di sebelah kanan dan kiri gue sekarang; Rena Alana dan Fiksi Sastrakencana.
Minggu, 4 April adalah hari terakhir perjalanan ini. Oranye redup warna mentari terbit hari ini adalah yang pertama gue lihat begitu membuka mata. Alhamdulillah...masih menghirup udara.. dan Subhanallah masih bisa menikmati suguhan alam dari Gusti Allah S.W.T. Kehidupan mpun mulai menggeliat. Beres-beres matras dan sleeping bag lalu lanjut ke hunting foto dan eksplore Pantai Papuma. Tepat di ujung tanjung terdapat dua buah batu besar, yang sepertinya adalah breksi dari Formasi Mandalika. Ombak cukup besar karena posisi tanjung yang menghadap langsung ke Samudra Hindia. Pemandangan ini sekilas mirip Ciantir di Sawarna dengan ciri khas batu besar yang menjulang tinggi dan sedang dihantam ombak tapi menurut gue, selalu ada yang berbeda dan khas dari tiap tempat yang kita datangi, walaupun itu sama-sama pantai. Sedangkan yang khas di Papuma ini adalah pos atau seperti menara pandang yang letaknya tepat di ujung tanjung dan berada di atas. Anak tangga yang harus ditapaki rapi tertata dari semen. Dari pos pandang ini pandangan bisa dilempar sejauh-jauhnya ke Samudra Hindia dan teluk tempat kita tidur semalam. Jadwal hari ini juga masih ketat mengingat temen-temen yang pulang ke Bandung harus sudah di Stasiun Gubeng jam 3 sore. Untungnya lokasi ini bisa dibilang tertata rapi begitu juga dengan kamar mandi umumnya, semoga ini pertanda baik ya. Kita nggak sempet icip-icip seafood di warung-warung pinggir pantai karena waktu yang amat mepet. Jam 9 tepat, setelah semuanya mandi dan bersih-bersih kita pun berangkat menuju Surabaya. Jangan lupa untuk foto-foto di pos atau tepatnya menara pandang yang letaknya di ujung tanjung. Anak tangganya rapi terbuat dari semen dan membuat siapapun dengan mudah ingin berfoto-foto disini. Dari pos pandang ini, kelihatan teluk tempat kita tidur tadi malam dan pantai-pantai lain di sekitar Tanjung Papuma. Kebetulan di trip kali ini gue minjem kamera sahabat gue, Arief jadi agak sulit kalo mau bernarsis-narsis, banyakan disuruh motoin orang-orang kayaknya. Dina yang hobi banget minta difoto sambil loncat kali ini nggak minta foto dengan gaya itu karena pos pandang ini cukup sempit dan sudah dibajak oleh bapak pedagang minuman, jadi mau ngga mau kita agak minggir sedikit ke bibir tebing untuk bisa berfoto dengan background yang oke banget. Dina jelas nggak berani loncat-loncat di kondisi terbatas kayak gini, bisa longsor lokal nih Tanjung Papuma. Setelah kita puas foto-foto disini kita berjalan lagi ke tempat dimana mobil diparkir untuk segera packing, beres-beres, dan sarapan. Sambil sarapan di sebut saja kantin, kita ngobrol-ngobrol sambil liat-liat foto yang tadi. Fiksi, Nizar, dan Riski kaget dan nyesel karena mereka belum sempet ikutan foto-foto di iconnya tanjung Papuma, 2 batu cadas yang terlhat lebih eksotis kalo kita berfoto di pos pandang itu.
Perjalanan Papuma ke Surabaya normalnya akan memakan waktu sekitar 5 jam, kenapa gue bilang normal? Karena kita nggak boleh lupa dengan lumpur lapindo yang sudah tentu bikin perjalan tersendat. Mobil tancep terus menuju Surabaya. Saat perjalanan pulang barulah pemandangan di sepanjang jalan menuju Papuma baru keliatan. Sebagian jalan aspal yang menanjak itu ditumbuhi pohon-pohon jati remaja, batangnya masih kecil dan kurus walaupun sudah membumbung tinggi menuju langit. Pohon-pohon itu menambah adem pagi yang terik saat itu. Perjalanan menuju Surabaya lebih sepi dari sebelumnya, kami semua tertidur, ya pasti karena itu. Perjalanan tersendat lagi saat memasuki Sidoarjo. Antrian panjang mobil-mobil dan udara panas bikin satu persatu dari kita bangun..clingak-clinguk, liat jam, dan mengais-ngais sisa-sisa cemilan yang mungkin tersisa di mobil.


Kira-kira jam 14.00 kita nyampe Surabaya, langsung menuju warung Lontong Balap Pak Min di sekitar Stasiun Pasar Turi. Grup Bandung yang keretanya berangkat jam 16.30 dari Stasiun Gubeng makan terburu-bururu dan nggak bisa tenang begitu juga dengan Yelli yang berangkat dengan jam yang sama tapi dari Stasiun Psar Turi. Mereka berharap bisa diantar ke stasiun tepat waktu oleh pak supir. Gue nggak bisa terlalu menikmati lontong balap siang itu, selain karena tendanya penuh sesak pengunjung, panas, ditambah liat mukanya Fiksi, Nikko, Nizar, dan Rizki juga Yelli yang gelisah takut ketinggalan kereta. Mungkin sesutu yang harus dicoba lagi nanti waktu gue ke Surabaya; makan lontong balap dengan tenang di tengah angin sepoi-sepoi. Pada dasarnya lontong balap adalah lontong+toge+tahu+bola-bola kacang merah (lupa namanya apa) disiram pake kuah petis yang encer, kalo kuah petisnya agak kentel sedikit mungkin lebih nikmat buat gue. Anyway, begitulah cerita si lontong balap tadi. Kenapa dinamakan lontong balap karena dulu, konon sang penjual menjajakan makanan ini dengan dipikul, karena saking beratnya si penjual berjalan terburu-buru dan tergopoh-gopoh, mirip seperti orang yang sedang balapan lari. Maka dari itu, dinamakanlah lontong balap. Akhirnya di Stasiun Pasar Turi kami berpencar. Gue, Shanti, Rena, Imam, dan Dj berangkat dari stasiun ini dengan Gumarang, sedangkan Fiksi, Nikko, Nizar, dan Rizki berangkat dari Gubeng, sama seperti Nadya hanya beda jam saja berangkatnya. Kemudian Mbak Ida, Mas Teguh dan Dina masih berencana berputar-putar kota Surabaya.Begitulah cerita perjalananan trip kali ini. Banyak cerita lucu, menyebalkan, seru, dan juga hal-hal di luar dugaan yang bisa jadi kenangan. Lengkap! Dan perjalanan gue pun ditutup dengan tidur panjang di dalem kereta bisnis Gumarang menuju Stasiun Pasar Senen. Akhir perjalanan kereta ini pun menimbulkan cerita baru lagi karena kereta yang seharusnya tiba di Stasiun Pasar Senen jam 6 pagi molor semolor-molornya dan baru nyampe jam 8.45. Oh iya, ini sudah hari Senin loh! Haha.. bisa ditebak gimana gelagapannya gue nawar-nawar ojek dari Stasiun Pasar Senen sampe Radio Dalam tempat kosan gue berada, ditambah speak bombay gue yang lihai ke boss supaya bisa dateng telat hari itu. Baca aja yah ceritanya di iniceritagita. Sampai ketemu lagi di cerita selanjutnya.
Oret-oretannya sang bendahara trip kali ini. Lumayan nih buat contekan kalo mau ke Kawah Ijen-Baluran-Papuma
Transport dan bahan bakar
1. Sewa elf : 600.000 / hari x 3 hari = 1.800.000
2. Solar total (3 hari) 103L : 4.500 x 103.L = 466.000
3. Solar eceran beli di Paltuding : 6.000 x 20L = 120.000
4. Parkir+tol PP = 10.000
Retribusi objek wisata
1. Pos jaga di Sempol (menuju Ijen) : 1.000 x 15 org = 15.000
2. Pos Paltuding (di Ijen) : 3.500 x 14 org+mobil = 120.000 (yang diitung yang nanjak doang)
3. TN Baluran : 2.500 x 15 org+mobil = 43.500
4. Tiket masuk kawasan wisata : 7.000 x 14 org+mobil = 100.000 
5. Tiket (lagi) masuk Papuma : 1.000 x 15 org = 15.000
6. Uang keamanan (nggak bener nih) : 25.000
Cemal-cemil buat rame-rame dan share lainnya
1. Aqua botol isi 24: 36.000
2. Makan supir : 26.000 (bapaknya suka ngambekkalo nggak makan nasi jadi sering nggak makan)
3. Pisang, roti, aqua lagi : 52.500
4. Tips buat pak supir biar senyum : 50.000
Total pengeluaran rame-rame: 2.800.000
Total patungan : 2.800.000 / 14 = 200.000
Tambahan ongkos gue:
Kereta ekonomi Kertajaya (Pasar Senen-Pasar Turi): 45.000
Kereta Bisnis Guamarang (Pasar Turi-Pasar Senen): 180.000

Ngerti kan kenapa gue bilang 'Long Road Trip' ? 


No comments:

Post a Comment