Friday, September 21, 2012

Cikuray


Gunung Cikuray terletak di perbatasan tiga kecamatan; Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggung, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ketinggian 2.818 mdpl atau gunung tertinggi nomor 4 di Jawa Barat, setelah Gunung Gede. Cerita ke Cikuray ini kalo boleh gue bilang adalah jilid 2 nya Menjajaki Mandalawangi, kenapa ? Karena pendakian ke Cikuray ini adalah hasil ajakannya Ompong (siapa sih Ompong? Baca ‘Menajajaki Mandalawangi’) di dalem KR waktu kita baru balik dari Pangrango. 
Sedikit bercerita tentang latar belakang pendakian ini, gue diajak mendadak sama Ompong sebenernya, tadinya kita rencanain sekitar tanggal 6-8 Agustus, pas banget penutupan puasa tapi rasanya terlalu lama buat Ompong, akhirnya dimajuin jadi tanggal 24-25 Juli. Padahal gue baruu aja balik dari Kalimantan, tepatnya Palangkaraya, tanggal 22 Juli. Karena saking kepengen banget ikut, gue bela-belain menjaga fisik supaya nggak drop, padahal abis re-mapping tahap 1 di Kalimantan. Packing dan belanja logistik semuanya mendadak. Secara mendadak juga Dheva dan Firman, temen dari Share Traveller pengen ikut (tadinya gue berniat ngajak DP dan Wiwik tapi mereka nggak bisa). Ini emang nggak direncanain seperti pendakiannya Bpk. Dwie (gembongnya ST) ke Pangrango yang massanya banyak. Ini pendakian sederhana, dengan jumlah orang yang nggak banyak, dan meminimalisasi orang yang membawa carrier. Gue pun dipaksa Ompong supaya bawa daypack aja (nggak usah dipaksa gue pun seneng kok kalo cuma bawa daypack).
Janjinya Ompong sih abis Shubuh di Pondok Gede, tepatnya pertigaan yang mau ke Jatiwarna tapi tunggu punya tunggu, Ompong baru sms gue jam 5.40-an untuk nyuruh gue berangkat dari rumah. Sementara Firman dan Dheva udah nyampe aja di terminal Kp. Rambutan tepat pukul 5.30 dan duduk manis aja di Musholla nungguin grup Pondok Gede ini. Ompong dateng bareng Azis (yang kemaren ke Mandalawangi juga) dan Jose (baru kenal), dan kita baru berangkat dari Pondok Gede jam 6 lewat. Sampe di Kp. Rambutan, melihat wajah Dheva dan Firman yang udah kenyang nunggu membuat gue merasa semakin nggak enak (grrrr... Ompong loh yang nyuruh kalian dateng pagi). Firman ini..mmm temen ST yang waktu itu bareng sama gue ke Tegal Panjang (catet: foto-fotonya selalu ciamik!). Setelah mengenalkan Firman dan Dheva ke temen-temen Ikpala dan juga sebaliknya, kita pun berburu bis ke Garut, dapet harga 30.000 sampe Guntur (gila ya Azis, harga pasnya bis aja masih bisa ditawar). Pendakian ke Cikuray akan dimulai dari Cilawu, yang masih masuk Kabupaten Garut, arah ke Singaparna. Paling enak sebenernya naik bis yang jurusan Singaparna, langsung turun di Cilawu, berhubung nggak ada dan udah siang juga kita ambil yang ke Garut dan habis di terminal Guntur, yang artinya kita harus nyambung angkot ke Cilawu. Okey, semua bis emang punya hobi yang sama, NGETEM, nggak perduli merek apa, hukumnya wajib buat mereka untuk NGETEM, gue udah tau itu tapi gue heran kenapa gue tetep masih kesel kalo mereka NGETEM.. arghhh! 
Bis baru bergerak dari Pasar Rebo sekitar 8.30. Menggeliat nggak nafsu menuju tol JORR terus lanjut Cipularang.. trus..trus.. dan gue pun molor, padahal udah duduk sebelahan sama Ompong tapi tetep aja gue tidur pules. Gue terus terang nggak ngerti sama rencananya Ompong dengan pendakian ini, dari referensi dia yang udah pernah ke Cikuray, treking dari Cilawu ke Pemancar makan waktu sekitar 3 jam (referensinya Dwie, Cilawu-Pemancar itu bisa ng-off road pake ojek), kemudian dari Pemancar ke puncak sekitar 7 jam atau bisa sampai 12 jam, tergantung kondisi. Okay, berarti kalo gue bisa nyimpulin pendakian bakal dilakukan pas malem. Jelas! Karena kita baru nyampe Garut jam 12 siang! Masalahnya Ompong nggak ngomong langsung ke gue tentang rencananya. Well, okelah gue cukup percaya sama dia dan Azis sebagai grup leader kali ini. Sampe Garut, terminal Guntur, kita sholat kemudian lanjut ngangkot ke Cilawu. Turun angkot di SMK Muhammadiyah kemudian kita jalan. Ada Sundari dan seorang lagi temennya Sundari; Herman yang sudah nunggu kita somewhere disini. Akhirnya terkumpul semua anak-anaknya nih; Azis, Dheva, Firman, Gita, Herman, Jose, Ompong, dan Sundari, lengkap ber 8. Setelah makan siang di warung nasi dan re-packing barang (kesempatan gue mengoper semua logistik ke carriernya Jose dan daypacknya Ompong). Gue memulai dengan ritual gue sendiri, mark point di GPS 60csx warung nasi sebagai starting point.
Perjalanan dimulai sekitar jam 2.45 siang. Pos 1 atau lebih dikenal dengan pemancar (tempat semua pemancar TV swasta bercokol untuk kawasan Garut dan sekitarnya). Seperti yang gue bilang tadi, perjalanan ke pemancar sebenernya bisa dengan ojek dengan medan yang agak off road (baca: aspal rusak mendaki dan berliku-liku) tapi sepertinya Azis dan Ompong enggan make ojek, cukup dimaklumi, ongkos ojek agak mahal lagian prinsip pendakian mereka yang meminimalisasi bawa carrier bisa jadi alasan untuk lebih menghemat tenaga. Lain dengan Dheva dan Firman yang udah terlanjur bawa carrier 60L, ini ada kaitannya waktu gue bilang ke mereka untuk siapin logistik masing-masing dan bawa tenda untuk berdua juga, maklum yah namanya juga dadakan. Sundari yang lebih tahu banyak tentang trek ke Cikuray memilih jalan potong melewati pematang-pematang sawah dan kebun penduduk. Indahnya pemandangan sepanjang jalan lumayan menghibur dan jadi pelepas lelah. Setelah melewati pematang sawah dan kebun sampailah kita di perkampungan. Kemudian kita mampir ke Masjid Almubarak, masjid kecil di kampung untuk sholat Ashar dan ngeteh. Yap! Keramahan penduduk kampung ini bener-bener jadi pengobat dahaga, disuguhin teh tawar hangat. Hmmm... sambil minum teh, istirahat, ngelurusin kaki, menaruh daypack dan carrier, sejauh mata memandang ke arah pemancar hanyalah kebun teh (dengan Cikuray sebagai latar belakang). Sekitar 20 menit beristirahat, perjalanan dilanjutkan kembali menuju pemancar. Kali ini mulailah kami melewati kebun teh. Kebun tehnya indaaah bener, kayak karpet warna hijau aja gitu digelar dari bawah sampai ke atas, Subhanallah. Jalannya sih aspal, sebagian rusak-rusak, tapi jangan ditanya;how steep it was... Fyuhh, sekitar 45° lah. Beruntung punya temen kayak anak-anak Ikpala (Sundari, Azis, Jose, dan Ompong). Kita saling bantu, gantian bawa carrier. Malah gue disuruh bawa daypacknya Ompong aja yang ‘oh my God’ ini sih melebihi enteng, wong isinya cuma baju, PDL, dan sesisir pisang nangka. Dengan susah payah, peluh, ditemani angin sejuk sore harinya Cilawu kita nyampe juga di pemancar sekitar jam 5. Sekalian sowan ke Bapak yang ada disini (kebetulan Azis kenal) kita pun buka kompor, bikin bajigur, menghangatkan badan, dan mengisi perut dengan mie rebus.
Setelah sholat Magrib bergantian, kami pun pamit untuk meneruskan perjalanan. Setelah do’a bersama dan yel-yel hore-nggak jelas kami pun berangkat. Kembali gue marked point ‘pemancar’ untuk referensi. Jam menunjukkan jam 18.30. Langit, alhamdulillah cerah, walaupun begitu Dheva dan Ompong udah siap dengan rain coat mereka. Bulan hampir purnama menemani kami sepanjang malam. Angin sudah mulai menusuk-nusuk, harus cepat bergerak supaya hangat. Gue hanya terus berdo’a hujan tidak turun malam ini. Perjalanan sampai di puncak diperkirakan Ompong lewat tengah malam, kalau lancar sekitar jam 1 dini hari. Pemimpin perjalanan tadinya Sundari dan Azis di belakangnya, kemudian Herman, lalu Jose, gue, Ompong di belakang gue, kemudian Dheva dan Firman. Kita masih berjalan di pinggir kebun teh, menuju jungle entry point. Cukup jelas kok treknya dan nggak terlalu jauh dari pemancar jungle entry pointnya, sekitar 1.5km. Sempat gue mark point dimana jalur memasuki hutan dimulai. Kemudian di tengah perjalanan formasi berganti. Ompong paling depan diikuti gue di belakangnya lalu Jose, kemudian Sundari, Azis, Herman, Dheva, dan Firman. Huh, ternyata jalur yang dinamakan Dwie sebagai jalur jidat ketemu dengkul bukan isapan jempol, tapi kalo gue boleh bikin nama untuk jalur ini, akan gue namakan jalur jidat ketemu jempol kaki! Berkali-kita berhenti untuk istirahat, medan yang sepertinya nggak ngasih kita kesempatan untuk berjalan landai membuat setiap setengah jam kita berhenti untuk mengambil napas, tapi memang nggak pernah lama kita berhenti. Ompong dan Azis yang sering jadi pemacu kita untuk tetap terus bergerak dan menjaga waktu. Istirahat agak lama baru kita setelah 2 jam kita berjalan, untungnya pas ketemu dengan tenda sekelompok orang yang sedang ngopi, wah pas banget deh! Istirahat sambil menyandarkan punggung di sebatang pohon, melepas sebentar daypack enteng gue (upss; ompong maksudnya) sambil ngopi. Hmmm..cukup 20-30 menit aja kita ngobrol sambil ngopi, menerima tawaran ramah para pemuda yang lagi main HT di dalem bivak. Rombongan ini sedang melakukan operasi pencarian seoang perempuan bernama Reny, warga Tangerang yang hilang sejak akhir 2009 / awal 2010 yang sampai saat ini jenazahnya belum ditemukan. Ketinggian saat itu masih sekitar 1700an, gue inget karena Firman yang nanya. Well, we all know, it’s still long way to go. GPS gue lumayan jadi spoiler untuk gue dan temen-temen lain, terutama Dheva dan Firman, belakangan Jose pun demikian. Sekitar jam 9 malem kita berangkat lagi, “yah..sekitar jam 2 lah nyampe puncak...” ucap seorang laki-laki dalam rombongan bivak itu. Okey, masih 5 jam lagi dan rasa ngantuk udah mulai datang, belum lagi dingin yang kian tajam memeluk badan, harus cepat-cepat bergerak nih. Jalan..jalan.. nanjak.. nanjak, angkat dengkul..pegangan akar pohon, angkat badan.. gituuu aja terus, nggak ada kesempatan untuk kita bertemu dengan medan datar. Slope nggak pernah kurang dari 45°, boleh percaya boleh enggak. Beruntung, gue punya Ompong di depan gue, bisa dibilang selama perjalanan dia yang ngejagain gue. Dia nggak selalu nengok ke belakang sih untuk memeriksa gue, tapi kapanpun gue butuh tangan sebagai ganti pegangan akar, ya tangannyalah yang selalu terjulur di depan muka gue, tanpa perlu gue bilang. Langkahnya cepat tapi nggak buru-buru seakan-akan ingin agar gue bisa mengimbanginya tanpa harus dia minta. 
Jalan makin terjal, bukan hanya akar pohon lagi yang menghiasi jalur, kini batu-batu nan terjal harus didaki. Kata Ompong, melewati jalur batu ini artinya pos puncak bayangan sudah hampir dekat. Pos puncak bayangan bisa dibilang pos kedua setelah pemancar. Disebut pos bayangan karena menurut yang gue baca dari referensi tulisan pendaki yang sudah pernah kesini, letaknya datar, persis seperti di puncak gunung, tapi jika melihat ke sebelah Barat Laut akan terlihatlah puncak Cikuray yang sebenarnya. Kalo menurut Azis, pos puncak bayangan ini ada di elevasi sekitar 2500m-an, well good job! Nggak terlalu meleset waktu gue tengok GPS gue saat berada di situ. Masih seperti pendakian Pangrango, Azis dan Ompong tetep manjadi motivator dengan kata-kata yang sungguh enak didengar tapi lama kelamaan mau marah juga karena nggak nyampe-nyampe rasanya, apalagi kalo bukan; “Sedikit lagi kok, udah keliatan pos puncak bayangannya tuh..” Rasanya dari elevasi di GPS masih sekitar 2000m-an mereka udah ngomong begitu deh, padahal pos puncak bayangannya kan masih di 2500mdpl. Menganggap kata-kata itu sebagai niat baik untuk semua kita pun tetap menyemangati diri sendiri untuk terus jalan, jalan, dan jalan. Berhenti agak lama sedikit sangat tidak dianjurkan karena selain dingin, rasa ngantuk luar biasa menyerang! Edan, kejadian kayak di Pangrango bakal terulang nih, jalan sambil tertidur. Gue liat jam.. oh my, jam 11 malem. Kita tau pos puncak bayangan udah sedikit lagi tapi badan susah kompromi untuk diajak jalan lebih cepat. Sekali lagi harus gue bilang, beruntung punya temen-temen pendakian seperti Ompong, Azis, dan Jose. Mereka nggak pernah keberatan untuk bertukar carrier dengan Firman dan Dheva, dengan tujuan apalagi kalo bukan saling membantu meringankan beban,inilah persiapan yang paling gue suka bareng anak Ikpala ini; meminimalisasi bawaan carier agar beban yang berat bisa ditanggung bersama. Ada satu lagi yang gue rasa adalah keberuntungan kita malam ini, yaitu cuaca benar-benar berpihak pada kita. Dari sejak di Pemancar saat kita naik, bulan yang hampir purnama atau masih panjul sedikit itu bersinar terang tanpa ampun. Langit seakan senang melihat kami mendaki Cikuray. Hmm.. God is great! Tentunya cuaca yang cerah ini ikut ambil bagian dari kelancaran pendakian.
Dengan nafas menggerung-gerung, kita nyampe juga di pos puncak bayangan. Azis, Sundari, dan Herman udah duluan nyampe, mungkin setengah jam lebih dulu dari kita. Sisanya, kita berlima mungkin sekitar jam 12 pas nyampe di pos ini. Ada nazar yang mau dikerjain nih kalo nyampe di pos ini, TIDUR! Yup, terutama Ompong, gue, dan Jose. Walaupun sebenernya sangat tidak dianjurkan untuk tidur dalam keadaan capek dan kedinginan tapi apa mau dikata, badan sama mata rasanya memaksa kami merebahkan badan, menutup mata dan meringkuk seperti udang menahan dingin. Untunglah, Firman dan Dheva nggak ikut terlena dengan ikut meringkuk seperti kami. Mereka lebih punya inisiatif bagus untuk membuka kompor dan membuat air panas untuk menghangatkan badan, sekaligus mengurangi berat beban air yang ada di carrier Firman. Dheva pun nggak mau ketinggalan mengeluarkan roti untuk penambah tenaga. Gue berpikir untuk tidur, mata udah terpejam tapi dinginnya bener-bener bikin badan nggak bisa berkutik. Jose memaksa dirinya tidur sambil terduduk, Azis, Sundari, dan Herman masih asik ngobrol pelan-pelan, hanya Ompong yang bisa tidur pulas, terdengar dari suara ngoroknya yang fasih.
Ada beberapa tenda yang berdiri di pos ini, hmm sempet terpikir tentang tenda yang hangat dengan secangkir kopi panas.. ahhh, tiba-tiba aja gue bangun, nggak sanggup dengan dinginnya, harus bergerak dan jalan. Gue menyeruput kopi susu yang dibuat Firman, hmmm.. dan melahap setengah roti coklatnya Dheva nggak lupa cemilan lain dari Herman. Jam 00.30 Azis merasa kita udah harus bener-bener jalan lagi menuju puncak. Satu per satu dari kami pun bersiap-siap, kecuali Ompong, seperti yang gue bilang, dia orang yang tidur paling nyenyak. Agak susah bangunin ni orang, dipangil-panggil dengan suara keras nggak mempan, diguncang-guncang badannya juga nihil hasilnya. Badannya harus ditarik dullu sampe matanya melek baru kita yakin dia bangun. Istirahat di pos puncak bayangan buat gue sangat merecharge tenaga dan semangat. Gue jalan lebih cepat untuk menghalau dingin, mencoba mngimbangi Ompong yang jalannya lebih cepat dari gue, walau gue tau dia ngantuk, semua pun begitu, tapi kita punya satu tujuan yang sama, rebah di dalam tenda yang hangat di atas puncak Cikuray. Spoiler thing masih terus berlanjut, Firman yang paling rajin nanya elevasi kita saat itu, kadang gue pun tanpa diminta dia langsung memberitahu sudah di ketinggian berapa kita, itung-itung sebagai motivator juga. Gue inget teriakan semangat Firman dan Dheva saat gue bilang ke mereka kalo kita udah di 2.800mdpl. Senang tak terkira melihat temen-temen yang kembali semangat. Di saat peluh hampir habis tak bersisa, kamipun menginjakkan kaki di puncaknya Cikuray. Senyum dan jabat thangat antara kami sempat membuat gue merinding, kali ini bukan merinding kedinginan, merinding merasakan kebersamaan kami untuk pendakian ini, benar-benar indah. 
Shelter di puncak sudah terisi tenda rombongan lain, sedangkan areal di luar shelter terlalu sempit lagi pula angin kencang sekali malam itu, sangat salah kalo kita mendirikan tenda di puncak tanpa penghalau apapun. Kami pun turun agak sedikit ke bawah, nggak tahan lama-lama diterpa angin. Di bawah sudah ada dua tenda lainnya dan kami memutuskan untuk mendirikan tenda berdekatan. Jam 1.45, gue liat jam. Yap! Pas 7 jam perjalanan dari Pemancar kesini. Setelah tenda berdiri rasanya kami semua tidak tahan untuk tidak membuka kompor dan peralatan memasak, mengisi perut dan menghangatkan badan. Akhirnya digelarlah dapur kami, persis di samping tenda. Pagi itu, Sundari yang udah nggak tahan liat pisang nangka bawaannya Azis langsung menyajikan pisang bakar coklat dan pisang bakar coklat keju untuk kami berdelapan, hmm..nikmaaat! Semua perbekalan pun dikumpulkan jadi satu, di atas matras, termasuk minuman-minuman sachet. Jadilah pagi itu, kami makan pisang bakar coklat dan minum milo hangat. Bercengkrama di luar tenda juga nggak kalah hangatnya ternyata ditambah tenda tetangga milik rombongan lain yang sepertinya terbangun lalu inisiatif menyalakan kembali api unggun mereka. Melirik jam, nggak kerasa sudah jam 3 lewat, sedangkan kita harus bangun pagi untuk menyaksikan matahari terbit. Firman yang sudah siap dengan DSLR Nikon, lengkap dengan tripodnya, pokoknya sudah siaga 1 deh dia dalam tenda, set alarm takut telat bangun, cek-cek kamera, cek-cek entah apalagi. Sementara kami berempat; gue, Ompong, Jose, dan Sundari pun udah siaga 1 dengan sleeping bag, matras, dan jaket hangat kami, siap tidur dan saling mengandalkan orang lain untuk minta dibangunin jam 4.30. Untuk tidur nyenyak hanya dibutuhkan sepersekian detik buat gue. Tenda yang hangat, betis yang merintih pegel, punggung dan pinggang yang akhirnya lurus dan membenamkan wajah di dalam sleping bag, sungguh suatu nikmat yang luar biasa buat gue yang tukang tidur. 
Sebelum alarm bunyi sebenernya gue udah terbangun dan sedikit sadar karena lagu-lagu nasyid yang berkobar dengan semangat udah disetel sama tetangga sebelah tenda kita, gue pikir itu cuma mimpi tapi begitu gue denger salah satu dari mereka ikut nyanyi denan sumbang, gue baru bener-bener sadar..Okay itu bukan mimpi dan langsung ngebangunin gue. 4.30 barulah alarm kami semua saling berteriak-teriak, bersahutan satu sama lain, mencoba membangunkan tuannya masing-masing. Uhhh, mengulet di pagi itu rasanya surga bener dehh, kehangatan masih mendekap gue hingga enggan rasanya bangun, sebelum akhirnya retseleting tenda dibuka oleh Azis. Dengan males-malesan antara mau dan enggak akhirnya kita pun bangun dan beranjak naik ke puncak. Langit masih gelap, biru donker di langit persis warna blue jeans adek gue. Dari atas puncak, di bawah sana kerlap-kerlip lampu kota Garut masih terlihat. Kami menunggu matahari beranjak naik sambil berlomba-lomba bersama udara dingin yang menyeruak masuk ke dalam tulang, gue menarik lebih kencang lagi jaket kuning Ompong yang sedang gue pake, berharap jaket ini bisa sedikit meniupkan rasa hangat. Ohh, nggak berhasil juga, gue mulai lompat-lompat sedikit, tambah menjadi banyak lompat-lompatnya ketika Dheva secara sukarela mau memotret gue dengan pose lompat. Akhirnya menit demi menit pun datang dan langit pun berubah warna, ini yang disebut ‘saat matahari terbit’. Gue seperti sedang memandangi lukisan mahakarya sang Khalik dari atas puncak sini, gimana enggak.. sebelah timur, kelihatan puncaknya Gunung Slamet yang menyembul. Cahaya Tuhan yang menyelinap di antara awan berarak ini benar-benar membuat takjub. Lautan awan di sebelah Selatan terlalu tebal, menutupi pandangan kami akan laut Selatan, Samudra Hindia. Tetangga terdekat Gunung Cikuray di sebelah Barat; Gunung Papandayan terlihat jernih bersama dengan kawahnya. Guratan-guratan triangular facet gagah berjejer menghadap ke Timur. Papandayan yang hijau seakan kontras dibelai awan nan biru dan mengekspose kawah dan bekas-bekas longsor yang berwarna coklat. Tertegun seakan belum puas saat memandangi permadani putih berombak di hadapan gue, lautan awan layaknya muntahan kapas arum manis yang belum diberi warna merah jambu. Pemandangan awan putih berarak pun menjadi dua lapis, satu di atas dan lainnya menghampar lebih rendah dari puncak Cikuray. Puas berfoto-foto dan memandangi langit serta menancapkan mimpi-mimpi baru untuk mendaki puncak gunung lainnya, kami pun kembali ke dapur untuk masak sarapan sebentar kemudian kembali tidur. Nggak kalah pulesnya dengan tidur yang cuma beberapa jam pagi tadi. 
Selesai menuntaskan sarapan nasi, nugget, tempe goreng, dan telur dadar kami pun packing, siap-siap kembali turun ke Pemancar. Daypack gue sudah kembali ke punggung gue setelah sebelumnya dibawain secara ganti-gantian sama Jose. Jam 12 siang kami pun memulai perjalanan turun. Cuaca untungnya terang benderang, flanel ijo yang gue pake nyaman juga ternyata untuk cuaca hari itu, setidaknya tangan gue nggak akan terlalu keling nanti. Azis, Sundari, Herman, dan Jose sudah berlarian turun paling depan. Bahkan ketika gue dan Ompong di Puncak Bayangan saut-sautan suara mereka sudah nggak terdengar lagi. Sementara Dheva dan Firman agaknya nggak terlalu jauh berjalan di belakang gue dan Ompong. Barulah kali itu gue lihat seperti apa medan yang sudah kita lewati malam tadi, persis kayak waktu pendakian ke Pangrango, decak kagum akan terjalnya medan yang telah dilewati membuat gue mengelus dada (haha, apa deh dada kok dielus-elus). Jarak di depan dan di belakang kita semakin jauh, praktis gue hanya ditemenin sama Ompong saat turun. Kita nggak banyak berhenti, persediaan air minum pun menipis. Kita terus jalan kadang berlari menuruni undak-undakan tanah yang curam, berharap lupa akan rasa haus dan persediaan air yang sebentar lagi habis. Kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki lain yang juga akan turun tapi mereka pun kami balap tuntas. Akhirnya setelah lama berjalan gue akhirnya menerima tawaran Ompong untuk istirahat sebentar, sambil menunggu Dheva. Agak lama kita beristirahat, kemudian muncul Dheva dan Firman, keduanya berjalan pelan sambil kemudian menawarkan kami air minum dan makanan.. Ahhhh, dahaga lenyaplah sudah, lapar..setidaknya gue akan mengganjalnya dengan biskuit Togo coklat. Kami masih beristirahat sambil mengunyah Togo coklat sampai Dheva dan Firman pun akhirnya meninggalkan gue dan Ompong.
Kalau waktu pendakian ke Pangrango memakan korban kakinya Thony, kali ini kakinya Firman yang harus merasakan keseleo saat perjalanan turun, terpaksa Dheva dan Firman berjalan pelan-pelan, untungnya batas antara hutan dan kebun sudah tidak terlalu jauh lagi. Gue dan Ompong sempet berhenti sebentar di pinggir jurang, tempat dimana bisa leluasa memandang lembah terjal dihiasi air terjun di kejauhan, ceritanya ini tempat favoritnya Ompong dari seluruh trek ke Cikuray apalagi kalau bukan karena pemandangan lembah yang bisa dilihat dari sini. Akhirnya setelah berlari-lari menyusuri pinggiran kebun teh, kamipun sampai dihalaman Pemancar. Sudah ada Sundari dan Herman yang sedang beristirahat, sedangkan Jose dan Azis lagi mandi di dalam, menyusul Ompong. Tunggu punya tunggu yang sedang mandi berikut Dheva dan Firman yang datang selang 20 menit dari gue dan Ompong, akhirnya kamipun meninggalkan Pemancar sekitar jam 2.45 menggunakan pick up yang kebetulan akan turun ke Garut, beruntung lagi rasanya di pendakian ini. Pick up ini ibarat pick up penyelamat kami semua terutama penyelamat kaki. Dengan rute yang berbeda ketika naik, pick up ini mengantarkan kami ke Cilawu melalui Dayeuh Manggung, menurunkan Herman di Cilawu lalu terus mengantar kami sampai ke Garut. Dari sini, kami naik angkot warna biru muda untuk diantar ke Terminal Guntur, di persimpangan besar kami berpisah dengan rombongan Azis-Jose-Sundari-Ompong karena mereka akan kembali naik Gunung Talaga Bodas, mereka pun turun dan angkot terus mengantar kami sampai ke terminal. Huahhhh...lapaaaaaar..itu yang ada di benak kami bertiga dan akhirnya pilihan pun jatuh pada bakso sapi yang warungnya terletak di depan Terminal Guntur. 
Selesai makan dan merasa kenyang kami bersih-bersih seadanya dan Sholat Ashar di mushola terminal,kemudian sepakat untuk naik bis Primajasa yang ke Lebak Bulus tapi keluar di Tol Pasar Rebo. Perjalanan pulang ke Jakarta lancar dibumbui oleh beberapa kemacetan disansini, terutama Nagrek. Sampe Pasar Rebo gue misah sama Dheva dan Firman, gue naik KR ke Pondok Gede sendiri, lanjut naik ojek sampe rumah dari Terminal Pondok Gede. Sampe rumah jam 10.30 malem, langsung menuju ke peraduan.. Room sweet room.

Gunung Cikuray terletak di perbatasan tiga kecamatan; Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggung, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ketinggian 2.818 mdpl atau gunung tertinggi nomor 4 di Jawa Barat, setelah Gunung Gede. Cerita ke Cikuray ini kalo boleh gue bilang adalah jilid 2 nya Menjajaki Mandalawangi, kenapa ? Karena pendakian ke Cikuray ini adalah hasil ajakannya Ompong (siapa sih Ompong? Baca ‘Menajajaki Mandalawangi’) di dalem KR waktu kita baru balik dari Pangrango. 
Sedikit bercerita tentang latar belakang pendakian ini, gue diajak mendadak sama Ompong sebenernya, tadinya kita rencanain sekitar tanggal 6-8 Agustus, pas banget penutupan puasa tapi rasanya terlalu lama buat Ompong, akhirnya dimajuin jadi tanggal 24-25 Juli. Padahal gue baruu aja balik dari Kalimantan, tepatnya Palangkaraya, tanggal 22 Juli. Karena saking kepengen banget ikut, gue bela-belain menjaga fisik supaya nggak drop, padahal abis re-mapping tahap 1 di Kalimantan. Packing dan belanja logistik semuanya mendadak. Secara mendadak juga Dheva dan Firman, temen dari Share Traveller pengen ikut (tadinya gue berniat ngajak DP dan Wiwik tapi mereka nggak bisa). Ini emang nggak direncanain seperti pendakiannya Bpk. Dwie (gembongnya ST) ke Pangrango yang massanya banyak. Ini pendakian sederhana, dengan jumlah orang yang nggak banyak, dan meminimalisasi orang yang membawa carrier. Gue pun dipaksa Ompong supaya bawa daypack aja (nggak usah dipaksa gue pun seneng kok kalo cuma bawa daypack).
Janjinya Ompong sih abis Shubuh di Pondok Gede, tepatnya pertigaan yang mau ke Jatiwarna tapi tunggu punya tunggu, Ompong baru sms gue jam 5.40-an untuk nyuruh gue berangkat dari rumah. Sementara Firman dan Dheva udah nyampe aja di terminal Kp. Rambutan tepat pukul 5.30 dan duduk manis aja di Musholla nungguin grup Pondok Gede ini. Ompong dateng bareng Azis (yang kemaren ke Mandalawangi juga) dan Jose (baru kenal), dan kita baru berangkat dari Pondok Gede jam 6 lewat. Sampe di Kp. Rambutan, melihat wajah Dheva dan Firman yang udah kenyang nunggu membuat gue merasa semakin nggak enak (grrrr... Ompong loh yang nyuruh kalian dateng pagi). Firman ini..mmm temen ST yang waktu itu bareng sama gue ke Tegal Panjang (catet: foto-fotonya selalu ciamik!). Setelah mengenalkan Firman dan Dheva ke temen-temen Ikpala dan juga sebaliknya, kita pun berburu bis ke Garut, dapet harga 30.000 sampe Guntur (gila ya Azis, harga pasnya bis aja masih bisa ditawar). Pendakian ke Cikuray akan dimulai dari Cilawu, yang masih masuk Kabupaten Garut, arah ke Singaparna. Paling enak sebenernya naik bis yang jurusan Singaparna, langsung turun di Cilawu, berhubung nggak ada dan udah siang juga kita ambil yang ke Garut dan habis di terminal Guntur, yang artinya kita harus nyambung angkot ke Cilawu. Okey, semua bis emang punya hobi yang sama, NGETEM, nggak perduli merek apa, hukumnya wajib buat mereka untuk NGETEM, gue udah tau itu tapi gue heran kenapa gue tetep masih kesel kalo mereka NGETEM.. arghhh! 
Bis baru bergerak dari Pasar Rebo sekitar 8.30. Menggeliat nggak nafsu menuju tol JORR terus lanjut Cipularang.. trus..trus.. dan gue pun molor, padahal udah duduk sebelahan sama Ompong tapi tetep aja gue tidur pules. Gue terus terang nggak ngerti sama rencananya Ompong dengan pendakian ini, dari referensi dia yang udah pernah ke Cikuray, treking dari Cilawu ke Pemancar makan waktu sekitar 3 jam (referensinya Dwie, Cilawu-Pemancar itu bisa ng-off road pake ojek), kemudian dari Pemancar ke puncak sekitar 7 jam atau bisa sampai 12 jam, tergantung kondisi. Okay, berarti kalo gue bisa nyimpulin pendakian bakal dilakukan pas malem. Jelas! Karena kita baru nyampe Garut jam 12 siang! Masalahnya Ompong nggak ngomong langsung ke gue tentang rencananya. Well, okelah gue cukup percaya sama dia dan Azis sebagai grup leader kali ini. Sampe Garut, terminal Guntur, kita sholat kemudian lanjut ngangkot ke Cilawu. Turun angkot di SMK Muhammadiyah kemudian kita jalan. Ada Sundari dan seorang lagi temennya Sundari; Herman yang sudah nunggu kita somewhere disini. Akhirnya terkumpul semua anak-anaknya nih; Azis, Dheva, Firman, Gita, Herman, Jose, Ompong, dan Sundari, lengkap ber 8. Setelah makan siang di warung nasi dan re-packing barang (kesempatan gue mengoper semua logistik ke carriernya Jose dan daypacknya Ompong). Gue memulai dengan ritual gue sendiri, mark point di GPS 60csx warung nasi sebagai starting point.
Perjalanan dimulai sekitar jam 2.45 siang. Pos 1 atau lebih dikenal dengan pemancar (tempat semua pemancar TV swasta bercokol untuk kawasan Garut dan sekitarnya). Seperti yang gue bilang tadi, perjalanan ke pemancar sebenernya bisa dengan ojek dengan medan yang agak off road (baca: aspal rusak mendaki dan berliku-liku) tapi sepertinya Azis dan Ompong enggan make ojek, cukup dimaklumi, ongkos ojek agak mahal lagian prinsip pendakian mereka yang meminimalisasi bawa carrier bisa jadi alasan untuk lebih menghemat tenaga. Lain dengan Dheva dan Firman yang udah terlanjur bawa carrier 60L, ini ada kaitannya waktu gue bilang ke mereka untuk siapin logistik masing-masing dan bawa tenda untuk berdua juga, maklum yah namanya juga dadakan. Sundari yang lebih tahu banyak tentang trek ke Cikuray memilih jalan potong melewati pematang-pematang sawah dan kebun penduduk. Indahnya pemandangan sepanjang jalan lumayan menghibur dan jadi pelepas lelah. Setelah melewati pematang sawah dan kebun sampailah kita di perkampungan. Kemudian kita mampir ke Masjid Almubarak, masjid kecil di kampung untuk sholat Ashar dan ngeteh. Yap! Keramahan penduduk kampung ini bener-bener jadi pengobat dahaga, disuguhin teh tawar hangat. Hmmm... sambil minum teh, istirahat, ngelurusin kaki, menaruh daypack dan carrier, sejauh mata memandang ke arah pemancar hanyalah kebun teh (dengan Cikuray sebagai latar belakang). Sekitar 20 menit beristirahat, perjalanan dilanjutkan kembali menuju pemancar. Kali ini mulailah kami melewati kebun teh. Kebun tehnya indaaah bener, kayak karpet warna hijau aja gitu digelar dari bawah sampai ke atas, Subhanallah. Jalannya sih aspal, sebagian rusak-rusak, tapi jangan ditanya;how steep it was... Fyuhh, sekitar 45° lah. Beruntung punya temen kayak anak-anak Ikpala (Sundari, Azis, Jose, dan Ompong). Kita saling bantu, gantian bawa carrier. Malah gue disuruh bawa daypacknya Ompong aja yang ‘oh my God’ ini sih melebihi enteng, wong isinya cuma baju, PDL, dan sesisir pisang nangka. Dengan susah payah, peluh, ditemani angin sejuk sore harinya Cilawu kita nyampe juga di pemancar sekitar jam 5. Sekalian sowan ke Bapak yang ada disini (kebetulan Azis kenal) kita pun buka kompor, bikin bajigur, menghangatkan badan, dan mengisi perut dengan mie rebus.
Setelah sholat Magrib bergantian, kami pun pamit untuk meneruskan perjalanan. Setelah do’a bersama dan yel-yel hore-nggak jelas kami pun berangkat. Kembali gue marked point ‘pemancar’ untuk referensi. Jam menunjukkan jam 18.30. Langit, alhamdulillah cerah, walaupun begitu Dheva dan Ompong udah siap dengan rain coat mereka. Bulan hampir purnama menemani kami sepanjang malam. Angin sudah mulai menusuk-nusuk, harus cepat bergerak supaya hangat. Gue hanya terus berdo’a hujan tidak turun malam ini. Perjalanan sampai di puncak diperkirakan Ompong lewat tengah malam, kalau lancar sekitar jam 1 dini hari. Pemimpin perjalanan tadinya Sundari dan Azis di belakangnya, kemudian Herman, lalu Jose, gue, Ompong di belakang gue, kemudian Dheva dan Firman. Kita masih berjalan di pinggir kebun teh, menuju jungle entry point. Cukup jelas kok treknya dan nggak terlalu jauh dari pemancar jungle entry pointnya, sekitar 1.5km. Sempat gue mark point dimana jalur memasuki hutan dimulai. Kemudian di tengah perjalanan formasi berganti. Ompong paling depan diikuti gue di belakangnya lalu Jose, kemudian Sundari, Azis, Herman, Dheva, dan Firman. Huh, ternyata jalur yang dinamakan Dwie sebagai jalur jidat ketemu dengkul bukan isapan jempol, tapi kalo gue boleh bikin nama untuk jalur ini, akan gue namakan jalur jidat ketemu jempol kaki! Berkali-kita berhenti untuk istirahat, medan yang sepertinya nggak ngasih kita kesempatan untuk berjalan landai membuat setiap setengah jam kita berhenti untuk mengambil napas, tapi memang nggak pernah lama kita berhenti. Ompong dan Azis yang sering jadi pemacu kita untuk tetap terus bergerak dan menjaga waktu. Istirahat agak lama baru kita setelah 2 jam kita berjalan, untungnya pas ketemu dengan tenda sekelompok orang yang sedang ngopi, wah pas banget deh! Istirahat sambil menyandarkan punggung di sebatang pohon, melepas sebentar daypack enteng gue (upss; ompong maksudnya) sambil ngopi. Hmmm..cukup 20-30 menit aja kita ngobrol sambil ngopi, menerima tawaran ramah para pemuda yang lagi main HT di dalem bivak. Rombongan ini sedang melakukan operasi pencarian seoang perempuan bernama Reny, warga Tangerang yang hilang sejak akhir 2009 / awal 2010 yang sampai saat ini jenazahnya belum ditemukan. Ketinggian saat itu masih sekitar 1700an, gue inget karena Firman yang nanya. Well, we all know, it’s still long way to go. GPS gue lumayan jadi spoiler untuk gue dan temen-temen lain, terutama Dheva dan Firman, belakangan Jose pun demikian. Sekitar jam 9 malem kita berangkat lagi, “yah..sekitar jam 2 lah nyampe puncak...” ucap seorang laki-laki dalam rombongan bivak itu. Okey, masih 5 jam lagi dan rasa ngantuk udah mulai datang, belum lagi dingin yang kian tajam memeluk badan, harus cepat-cepat bergerak nih. Jalan..jalan.. nanjak.. nanjak, angkat dengkul..pegangan akar pohon, angkat badan.. gituuu aja terus, nggak ada kesempatan untuk kita bertemu dengan medan datar. Slope nggak pernah kurang dari 45°, boleh percaya boleh enggak. Beruntung, gue punya Ompong di depan gue, bisa dibilang selama perjalanan dia yang ngejagain gue. Dia nggak selalu nengok ke belakang sih untuk memeriksa gue, tapi kapanpun gue butuh tangan sebagai ganti pegangan akar, ya tangannyalah yang selalu terjulur di depan muka gue, tanpa perlu gue bilang. Langkahnya cepat tapi nggak buru-buru seakan-akan ingin agar gue bisa mengimbanginya tanpa harus dia minta. 
Jalan makin terjal, bukan hanya akar pohon lagi yang menghiasi jalur, kini batu-batu nan terjal harus didaki. Kata Ompong, melewati jalur batu ini artinya pos puncak bayangan sudah hampir dekat. Pos puncak bayangan bisa dibilang pos kedua setelah pemancar. Disebut pos bayangan karena menurut yang gue baca dari referensi tulisan pendaki yang sudah pernah kesini, letaknya datar, persis seperti di puncak gunung, tapi jika melihat ke sebelah Barat Laut akan terlihatlah puncak Cikuray yang sebenarnya. Kalo menurut Azis, pos puncak bayangan ini ada di elevasi sekitar 2500m-an, well good job! Nggak terlalu meleset waktu gue tengok GPS gue saat berada di situ. Masih seperti pendakian Pangrango, Azis dan Ompong tetep manjadi motivator dengan kata-kata yang sungguh enak didengar tapi lama kelamaan mau marah juga karena nggak nyampe-nyampe rasanya, apalagi kalo bukan; “Sedikit lagi kok, udah keliatan pos puncak bayangannya tuh..” Rasanya dari elevasi di GPS masih sekitar 2000m-an mereka udah ngomong begitu deh, padahal pos puncak bayangannya kan masih di 2500mdpl. Menganggap kata-kata itu sebagai niat baik untuk semua kita pun tetap menyemangati diri sendiri untuk terus jalan, jalan, dan jalan. Berhenti agak lama sedikit sangat tidak dianjurkan karena selain dingin, rasa ngantuk luar biasa menyerang! Edan, kejadian kayak di Pangrango bakal terulang nih, jalan sambil tertidur. Gue liat jam.. oh my, jam 11 malem. Kita tau pos puncak bayangan udah sedikit lagi tapi badan susah kompromi untuk diajak jalan lebih cepat. Sekali lagi harus gue bilang, beruntung punya temen-temen pendakian seperti Ompong, Azis, dan Jose. Mereka nggak pernah keberatan untuk bertukar carrier dengan Firman dan Dheva, dengan tujuan apalagi kalo bukan saling membantu meringankan beban,inilah persiapan yang paling gue suka bareng anak Ikpala ini; meminimalisasi bawaan carier agar beban yang berat bisa ditanggung bersama. Ada satu lagi yang gue rasa adalah keberuntungan kita malam ini, yaitu cuaca benar-benar berpihak pada kita. Dari sejak di Pemancar saat kita naik, bulan yang hampir purnama atau masih panjul sedikit itu bersinar terang tanpa ampun. Langit seakan senang melihat kami mendaki Cikuray. Hmm.. God is great! Tentunya cuaca yang cerah ini ikut ambil bagian dari kelancaran pendakian.
Dengan nafas menggerung-gerung, kita nyampe juga di pos puncak bayangan. Azis, Sundari, dan Herman udah duluan nyampe, mungkin setengah jam lebih dulu dari kita. Sisanya, kita berlima mungkin sekitar jam 12 pas nyampe di pos ini. Ada nazar yang mau dikerjain nih kalo nyampe di pos ini, TIDUR! Yup, terutama Ompong, gue, dan Jose. Walaupun sebenernya sangat tidak dianjurkan untuk tidur dalam keadaan capek dan kedinginan tapi apa mau dikata, badan sama mata rasanya memaksa kami merebahkan badan, menutup mata dan meringkuk seperti udang menahan dingin. Untunglah, Firman dan Dheva nggak ikut terlena dengan ikut meringkuk seperti kami. Mereka lebih punya inisiatif bagus untuk membuka kompor dan membuat air panas untuk menghangatkan badan, sekaligus mengurangi berat beban air yang ada di carrier Firman. Dheva pun nggak mau ketinggalan mengeluarkan roti untuk penambah tenaga. Gue berpikir untuk tidur, mata udah terpejam tapi dinginnya bener-bener bikin badan nggak bisa berkutik. Jose memaksa dirinya tidur sambil terduduk, Azis, Sundari, dan Herman masih asik ngobrol pelan-pelan, hanya Ompong yang bisa tidur pulas, terdengar dari suara ngoroknya yang fasih.
Ada beberapa tenda yang berdiri di pos ini, hmm sempet terpikir tentang tenda yang hangat dengan secangkir kopi panas.. ahhh, tiba-tiba aja gue bangun, nggak sanggup dengan dinginnya, harus bergerak dan jalan. Gue menyeruput kopi susu yang dibuat Firman, hmmm.. dan melahap setengah roti coklatnya Dheva nggak lupa cemilan lain dari Herman. Jam 00.30 Azis merasa kita udah harus bener-bener jalan lagi menuju puncak. Satu per satu dari kami pun bersiap-siap, kecuali Ompong, seperti yang gue bilang, dia orang yang tidur paling nyenyak. Agak susah bangunin ni orang, dipangil-panggil dengan suara keras nggak mempan, diguncang-guncang badannya juga nihil hasilnya. Badannya harus ditarik dullu sampe matanya melek baru kita yakin dia bangun. Istirahat di pos puncak bayangan buat gue sangat merecharge tenaga dan semangat. Gue jalan lebih cepat untuk menghalau dingin, mencoba mngimbangi Ompong yang jalannya lebih cepat dari gue, walau gue tau dia ngantuk, semua pun begitu, tapi kita punya satu tujuan yang sama, rebah di dalam tenda yang hangat di atas puncak Cikuray. Spoiler thing masih terus berlanjut, Firman yang paling rajin nanya elevasi kita saat itu, kadang gue pun tanpa diminta dia langsung memberitahu sudah di ketinggian berapa kita, itung-itung sebagai motivator juga. Gue inget teriakan semangat Firman dan Dheva saat gue bilang ke mereka kalo kita udah di 2.800mdpl. Senang tak terkira melihat temen-temen yang kembali semangat. Di saat peluh hampir habis tak bersisa, kamipun menginjakkan kaki di puncaknya Cikuray. Senyum dan jabat thangat antara kami sempat membuat gue merinding, kali ini bukan merinding kedinginan, merinding merasakan kebersamaan kami untuk pendakian ini, benar-benar indah. 
Shelter di puncak sudah terisi tenda rombongan lain, sedangkan areal di luar shelter terlalu sempit lagi pula angin kencang sekali malam itu, sangat salah kalo kita mendirikan tenda di puncak tanpa penghalau apapun. Kami pun turun agak sedikit ke bawah, nggak tahan lama-lama diterpa angin. Di bawah sudah ada dua tenda lainnya dan kami memutuskan untuk mendirikan tenda berdekatan. Jam 1.45, gue liat jam. Yap! Pas 7 jam perjalanan dari Pemancar kesini. Setelah tenda berdiri rasanya kami semua tidak tahan untuk tidak membuka kompor dan peralatan memasak, mengisi perut dan menghangatkan badan. Akhirnya digelarlah dapur kami, persis di samping tenda. Pagi itu, Sundari yang udah nggak tahan liat pisang nangka bawaannya Azis langsung menyajikan pisang bakar coklat dan pisang bakar coklat keju untuk kami berdelapan, hmm..nikmaaat! Semua perbekalan pun dikumpulkan jadi satu, di atas matras, termasuk minuman-minuman sachet. Jadilah pagi itu, kami makan pisang bakar coklat dan minum milo hangat. Bercengkrama di luar tenda juga nggak kalah hangatnya ternyata ditambah tenda tetangga milik rombongan lain yang sepertinya terbangun lalu inisiatif menyalakan kembali api unggun mereka. Melirik jam, nggak kerasa sudah jam 3 lewat, sedangkan kita harus bangun pagi untuk menyaksikan matahari terbit. Firman yang sudah siap dengan DSLR Nikon, lengkap dengan tripodnya, pokoknya sudah siaga 1 deh dia dalam tenda, set alarm takut telat bangun, cek-cek kamera, cek-cek entah apalagi. Sementara kami berempat; gue, Ompong, Jose, dan Sundari pun udah siaga 1 dengan sleeping bag, matras, dan jaket hangat kami, siap tidur dan saling mengandalkan orang lain untuk minta dibangunin jam 4.30. Untuk tidur nyenyak hanya dibutuhkan sepersekian detik buat gue. Tenda yang hangat, betis yang merintih pegel, punggung dan pinggang yang akhirnya lurus dan membenamkan wajah di dalam sleping bag, sungguh suatu nikmat yang luar biasa buat gue yang tukang tidur. 
Sebelum alarm bunyi sebenernya gue udah terbangun dan sedikit sadar karena lagu-lagu nasyid yang berkobar dengan semangat udah disetel sama tetangga sebelah tenda kita, gue pikir itu cuma mimpi tapi begitu gue denger salah satu dari mereka ikut nyanyi denan sumbang, gue baru bener-bener sadar..Okay itu bukan mimpi dan langsung ngebangunin gue. 4.30 barulah alarm kami semua saling berteriak-teriak, bersahutan satu sama lain, mencoba membangunkan tuannya masing-masing. Uhhh, mengulet di pagi itu rasanya surga bener dehh, kehangatan masih mendekap gue hingga enggan rasanya bangun, sebelum akhirnya retseleting tenda dibuka oleh Azis. Dengan males-malesan antara mau dan enggak akhirnya kita pun bangun dan beranjak naik ke puncak. Langit masih gelap, biru donker di langit persis warna blue jeans adek gue. Dari atas puncak, di bawah sana kerlap-kerlip lampu kota Garut masih terlihat. Kami menunggu matahari beranjak naik sambil berlomba-lomba bersama udara dingin yang menyeruak masuk ke dalam tulang, gue menarik lebih kencang lagi jaket kuning Ompong yang sedang gue pake, berharap jaket ini bisa sedikit meniupkan rasa hangat. Ohh, nggak berhasil juga, gue mulai lompat-lompat sedikit, tambah menjadi banyak lompat-lompatnya ketika Dheva secara sukarela mau memotret gue dengan pose lompat. Akhirnya menit demi menit pun datang dan langit pun berubah warna, ini yang disebut ‘saat matahari terbit’. Gue seperti sedang memandangi lukisan mahakarya sang Khalik dari atas puncak sini, gimana enggak.. sebelah timur, kelihatan puncaknya Gunung Slamet yang menyembul. Cahaya Tuhan yang menyelinap di antara awan berarak ini benar-benar membuat takjub. Lautan awan di sebelah Selatan terlalu tebal, menutupi pandangan kami akan laut Selatan, Samudra Hindia. Tetangga terdekat Gunung Cikuray di sebelah Barat; Gunung Papandayan terlihat jernih bersama dengan kawahnya. Guratan-guratan triangular facet gagah berjejer menghadap ke Timur. Papandayan yang hijau seakan kontras dibelai awan nan biru dan mengekspose kawah dan bekas-bekas longsor yang berwarna coklat. Tertegun seakan belum puas saat memandangi permadani putih berombak di hadapan gue, lautan awan layaknya muntahan kapas arum manis yang belum diberi warna merah jambu. Pemandangan awan putih berarak pun menjadi dua lapis, satu di atas dan lainnya menghampar lebih rendah dari puncak Cikuray. Puas berfoto-foto dan memandangi langit serta menancapkan mimpi-mimpi baru untuk mendaki puncak gunung lainnya, kami pun kembali ke dapur untuk masak sarapan sebentar kemudian kembali tidur. Nggak kalah pulesnya dengan tidur yang cuma beberapa jam pagi tadi. 
Selesai menuntaskan sarapan nasi, nugget, tempe goreng, dan telur dadar kami pun packing, siap-siap kembali turun ke Pemancar. Daypack gue sudah kembali ke punggung gue setelah sebelumnya dibawain secara ganti-gantian sama Jose. Jam 12 siang kami pun memulai perjalanan turun. Cuaca untungnya terang benderang, flanel ijo yang gue pake nyaman juga ternyata untuk cuaca hari itu, setidaknya tangan gue nggak akan terlalu keling nanti. Azis, Sundari, Herman, dan Jose sudah berlarian turun paling depan. Bahkan ketika gue dan Ompong di Puncak Bayangan saut-sautan suara mereka sudah nggak terdengar lagi. Sementara Dheva dan Firman agaknya nggak terlalu jauh berjalan di belakang gue dan Ompong. Barulah kali itu gue lihat seperti apa medan yang sudah kita lewati malam tadi, persis kayak waktu pendakian ke Pangrango, decak kagum akan terjalnya medan yang telah dilewati membuat gue mengelus dada (haha, apa deh dada kok dielus-elus). Jarak di depan dan di belakang kita semakin jauh, praktis gue hanya ditemenin sama Ompong saat turun. Kita nggak banyak berhenti, persediaan air minum pun menipis. Kita terus jalan kadang berlari menuruni undak-undakan tanah yang curam, berharap lupa akan rasa haus dan persediaan air yang sebentar lagi habis. Kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki lain yang juga akan turun tapi mereka pun kami balap tuntas. Akhirnya setelah lama berjalan gue akhirnya menerima tawaran Ompong untuk istirahat sebentar, sambil menunggu Dheva. Agak lama kita beristirahat, kemudian muncul Dheva dan Firman, keduanya berjalan pelan sambil kemudian menawarkan kami air minum dan makanan.. Ahhhh, dahaga lenyaplah sudah, lapar..setidaknya gue akan mengganjalnya dengan biskuit Togo coklat. Kami masih beristirahat sambil mengunyah Togo coklat sampai Dheva dan Firman pun akhirnya meninggalkan gue dan Ompong.
Kalau waktu pendakian ke Pangrango memakan korban kakinya Thony, kali ini kakinya Firman yang harus merasakan keseleo saat perjalanan turun, terpaksa Dheva dan Firman berjalan pelan-pelan, untungnya batas antara hutan dan kebun sudah tidak terlalu jauh lagi. Gue dan Ompong sempet berhenti sebentar di pinggir jurang, tempat dimana bisa leluasa memandang lembah terjal dihiasi air terjun di kejauhan, ceritanya ini tempat favoritnya Ompong dari seluruh trek ke Cikuray apalagi kalau bukan karena pemandangan lembah yang bisa dilihat dari sini. Akhirnya setelah berlari-lari menyusuri pinggiran kebun teh, kamipun sampai dihalaman Pemancar. Sudah ada Sundari dan Herman yang sedang beristirahat, sedangkan Jose dan Azis lagi mandi di dalam, menyusul Ompong. Tunggu punya tunggu yang sedang mandi berikut Dheva dan Firman yang datang selang 20 menit dari gue dan Ompong, akhirnya kamipun meninggalkan Pemancar sekitar jam 2.45 menggunakan pick up yang kebetulan akan turun ke Garut, beruntung lagi rasanya di pendakian ini. Pick up ini ibarat pick up penyelamat kami semua terutama penyelamat kaki. Dengan rute yang berbeda ketika naik, pick up ini mengantarkan kami ke Cilawu melalui Dayeuh Manggung, menurunkan Herman di Cilawu lalu terus mengantar kami sampai ke Garut. Dari sini, kami naik angkot warna biru muda untuk diantar ke Terminal Guntur, di persimpangan besar kami berpisah dengan rombongan Azis-Jose-Sundari-Ompong karena mereka akan kembali naik Gunung Talaga Bodas, mereka pun turun dan angkot terus mengantar kami sampai ke terminal. Huahhhh...lapaaaaaar..itu yang ada di benak kami bertiga dan akhirnya pilihan pun jatuh pada bakso sapi yang warungnya terletak di depan Terminal Guntur. 
Selesai makan dan merasa kenyang kami bersih-bersih seadanya dan Sholat Ashar di mushola terminal,kemudian sepakat untuk naik bis Primajasa yang ke Lebak Bulus tapi keluar di Tol Pasar Rebo. Perjalanan pulang ke Jakarta lancar dibumbui oleh beberapa kemacetan disansini, terutama Nagrek. Sampe Pasar Rebo gue misah sama Dheva dan Firman, gue naik KR ke Pondok Gede sendiri, lanjut naik ojek sampe rumah dari Terminal Pondok Gede. Sampe rumah jam 10.30 malem, langsung menuju ke peraduan.. Room sweet room.

Menghaturkan banyak terimakasih kagem:
1. Gusti Allah atas perlindunganNya selama pendakian dan perjalanan
2. Teman-teman seperjalanan dari Ikpala dan ST; Ompong, Azis, Jose, Sundari, Herman, Dheva, dan Firman Great hiking trip with you guys dan berharap sangat..ke Semeru bakal bareng kalian lagi
3. Ibu baik hati di samping Mesjid Al Mubarak untuk teh hangatnya
4. Rombongan di dalam bivak untuk secangkir kopi hangat ‘buat rame2’nya
5. Tetangga waktu nenda untuk api unggunnya dan lagu-lagu nasyidnya yang disetel kenceng-kenceng waktu Shubuh sehingga bikin saya terbangun dan nggak telat nonton ‘sun rise’

                                  Track from GPS60csx overlay with google earth
 


 

No comments:

Post a Comment